Kiprah Mujiono Sang Legislator Biru: Sukses ‘Sang Pendidik’ Bergulat di Tengah Pelik Panggung Politik

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

Sudah dua jam Mujiono duduk di kursi coklat tua di tengah ruangan. Tangannya sibuk membolak balik kertas putih di depannya. Tulisan ulangan terpampang mencolok di sudut kanan kertas. Sudut matanya sedikit nanar. Tak fokus dengan tumpukan kertas-kertas itu. Padahal ia harus menyelesaikan koreksi ulangan para anak didiknya.

Mujiono adalah seorang pendidik tepatnya guru. Ia sudah 11 tahun mengajar dan mengabdi. Sejak lulus perguruan tinggi, ia langsung mengajar. Minatnya sangat besar dalam dunia belajar mengajar. Terutama, mata pelajaran akuntansi. Di tahun itu, mencari guru akuntansi cukup sulit. Tak banyak orang. Mujiono salah satunya.

Uniknya, ia tak hanya mengajar di satu sekolah tapi tiga sekolah swasta yang berbeda.  Di tengah kecintaan itu akan dunia pendidikan, ia bimbang.  Meski menjadi guru, tak banyak yang bisa ia buat selain mengajar.

Padahal, ia ingin mengubah sejumah kebijakan sistem pengajaran di Kota Pontianak. Tapi, apa daya ia hanya seorang guru tanpa bisa membuat banyak perbedaan, apalagi berharap perubahan.

Hingga akhirnya, rentak tangan mengantarkan Mujiono ke panggung politik. Karirnya melesat menjadi wakil rakyat tiga periode berturut-turut.

Masa Kecil

Mujiono lahir di Kota Pontianak  pada 9 Juni 1973. Lahir dari pasangan Buchari A Karim dan Maryati. Ia anak ke lima dari 14 bersaudara. Bisa dibilang, ia lahir di tengah keluarga besar yang serba sederhana.

Tak bisa dipungkiri, ia dan belasan saudaranya itu harus berjuang hidup. Tak ingin mengandalkan sang ayah. Maklum, sang ayah hanya seorang buruh lepas, hanya tukang bangunan yang tak tentu kapan bekerja atau kapan ‘nganggur’ saat tak ada panggilan proyek.

Untuk makan saja susah apalagi sekolah. Tapi uniknya,  kedua orangtua Mujiono kerap mengingatkan mereka untuk tetap bersekolah tanpa berfikir tentang mencari nafkah.

Mujiono ingat saat itu ia dan kakak-kakaknya mulai bersekolah dasar.  Ia sangat ingin membantu sang ayah, tapi apa daya ia masih kecil.

Ayahnya seorang pendatang dari Jawa. Merantau ke Kalbar tanpa sanak saudara. Memulai dari nol hingga bisa punya keluarga dan tempat tinggal. Walau hidup pas-pasan, sang ayah selalu mengajarkan Mujiono dan saudara lainnya untuk bersyukur.

“Salut kepada orangtua saya. Kalau dipikir 14 anak, ayah hanya tukang, ibu rumah tangga tapi cukup. Meski kekurangan tapi Alhamdulillah kami menikmati apa yang diberikan orangtua,” kata Mujiono.

Masa kecil Mujiono  sama dengan anak lainnya. Suka bermain, bandel tapi tak pernah membuat orangtuanya susah. Mujiono punya kenangan masa kecil yang masih melekat. Ia mengalami kecelakan hebat.

Saat itu, ia baru naik ke kelas tiga SD. Ia sekolah di  SDN 40. Tahun 80an, tak ada jalan besar, hanya jalan setapak yang banyak semak-semak.

Tapi, lalu lintas kerndaraan cukup banyak. Mujiono kecil tengah menjinjing tas dan buku. Niatnya mau sekolah awal. Tapi apesnya, ia ditabrak sebuah motor. Tubuh kecil Mujiono sempat terpental dan jatuh terkelungkup.  

“Saya masih ingat. Usai jatuh, seperti terlempar. Saya pun bangkit. Pertama kali yang saya cari itu buku sekolah, jangan sampai kenapa-napa,” ujarnya.

Butuh satu tahun bagi Mujiono kecil untuk pulih. Kakinya patah, dan sejumlah luka lebam hingga bengkak membuat ia tak bisa sekolah. Tiga bulan ia tak bisa berjalan. Selama masa pemulihan, ia tak bisa ke sekolah. Akibatnya, ia tak naik kelas. Padahal, ia selalu peringkat pertama.

Mujiono tak patah semangat. Usai pemulihan, ia pun bersekolah lagi meski harus tinggal kelas. Tak ada rasa malu, bahkan saat itu tak ada anak yang mem-bully-nya.

Tak Mampu Bayar SPP

Sebagai anak yang lahir di keluarga sederhana dengan 14 saudara, Mujiono sadar betul masalah biaya sekolah jadi kendala utama. Kerap orangtuanya tak mampu membayar uang SPP.

Pernah suatu hari ini memohon izin sang ayah untuk bekerja. Sang ayah menolak lantaran ia masih belum cukup umur. Tapi, persoalan biaya selalu menggantung di depan matanya.

Ia ingat ketika duduk di bangku kelas dua SMPN 14. Pada saat itu, ujian sekolah akhir akan dimulai tapi syaratnya harus lunas SPP. Sementara, ia belum melunasi biaya itu. Sekolah pun meminta orangtua Mujiono menghadap untuk membahas soal biaya.

Tapi dasar Mujiono, ia takut memberitahukan soal panggilan itu kepada orangtuanya. Niatnya baik. Tak ingin membebankan dengan kondisi keluarga saat itu. Jadinya, ia pergi sendiri menghadap kepala sekolah. Ia membuat alasan, sang ibu yang diminta pergi tengah sibuk.

Dia dengan percaya diri menghadap, tapi bukan kasihan  yang didapat, Mujiono malah disuruh pulang saat itu. Diminta datang lagi, bersama orangtua.  

“Pulang ke rumah, saya menangis sambil mikir cara untuk bisa ujian,” ucapnya lirih.

Bukan Mujiono jika tak punya banyak akal. Ia berfikir bagaimana bisa tetap ikut ujian, meski belum bayar SPP. Ia punya ide di otak kecilnya itu. Ketika ujian berlangsung, ia nekat masuk kelas saat menit terakhir.

Tapi, dasarnya apes, Mujiono pun diminta keluar kelas dan menghadap lagi kepala sekolah karena ketahuan masuk ruang ujian tanpa kartu ujian. Nah, kali ini ia mendapat simpati guru. Akhirnya mengijinkan Mujiono mengikuti ujian semester.

Hal sama juga terkadi ketika di SMA. Mujiono saat itu menempuh pendidikan di SMKN 1 Jurusan Akuntansi.  Bedanya, kali ini ia bertindak sedikit di luar batas. Ia memalsukan kartu SPP. Tulisan tiga bulan tak bayar, ia ganti dengan kata lunas.

“Ketahuan. Kena sanksi, panggil orang tua. Saya akui, ayah tak mampu bayar. Memang sulit untuk biaya. Tapi karena semangat tinggi, ia tak malu bersekolah lagi. Meski tak mampu bayar, saya mau sekolah,” ujarnya.

Dari Organisasi hingga Guru

Meski sulit dalam hal biaya, tapi tak membuat Mujiono putus harapan. Ia tetap belajar dan terus mengasah kemampun. Osis sekolah pun ia jajal. Sejulah kegiatan organisasi ia ikuti. Sebut saja Ketua HMI, Ketua BPM, hingga menjabat Ketua Senat di FKIP Universitas Tanjungpura.  

Ia sadar, organisasi mengajarkan banyak hal. Mulai dari komunikasi, percaya diri dan memupuk mental kuat saat berdiskusi. Tak hanya terlibat banyak organisasi, sejak kelas dua SMA ia bahkan ikut sang ayah jadi tukang bangunan.

Ia tak malu. Baginya selama bisa meringankan sang ayah soal biaya sekolah ia mau bekerja. Mencoba menyeimbangkan antara kegiatan sekolah, organisasi hingga bekerja tak membuat nilai Mujiono terganggu.

Kerja keras tak menghinati hasil. Buktinya, kerja keras Mujiono terbalas. Ia dipilih menjadi mahasiswa undangan FKIP Universitas Tajungpura. Ia pun memilih jurusan akuntansi. Namun, biaya kuliah yang besar tak bisa dipenuhi orangtunya.

Meski harus pinjam sana sini, Mujiono akhirnya bisa menempuh perkuliahan. Bahkan, di semester tiga ia mendapat beasiswa penuh. Ia pun lulus cumlaude. Karena nilainya memuaskan, sang dosen menawarkannya bekerja di sekolah Muhammadiyah. Ia menanggupi. Melihat kinerjanya selama mengajar, Mujiono kembali diminta mengajar di dua sekolah berbeda, YLKIA dan Imanuel. Saat itu tahun 1998.

Masuk Politik

Selama 11 tahun, Mujiono mengabdi jadi guru. Tak pernah ia berfikir ia akan berprofesi lain. Baginya, guru sudah mendarah daging. Pikirnya, tak ada yang bisa membuatnya lebih bersemangat ketika berdiri di depan kelas untuk mengajar.

Namun, pikiran itu berubah saat rekannya sesama guru di Muhammadiyah mengajaknya terlibat dalam politik. Tepatnya, bergabung di sebuah partai politik yang baru dibentuk. Maklum saat itu, peralihan kekuasaan terjadi.

Ia awalnya, tak menanggapi tapi lama-kelamaan rayuan sang teman membuatnya luluh. Apalagi, sebelum ia memutuskan masuk politik, ia banyak meminta masukan dan arahan terkait rencananya itu.

Menjadi guru adalah pekerjaan impian Mujiono, tapi banyak hal yang harus diperbaiki jika ingin sistem pendidikan lebih baik. Dilihat dari kesejahteraan guru, kurikulum pendidikan maupun aturan pendukung itu masih banyak yang belum tuntas.

Sebagai guru, ia tak bisa berbuat banyak untuk mengubah itu, tapi berbeda jika ia terlibat dalam membuat kebijakan terkait pendidikan.

Hal itu jadi pertimbangan utama Mujiono mengapa akhirnya ia memutuskan untuk bergabung di sebuah partai. Partai biru atau biasa dikenal dengan nama Partai Amanat Nasional (PAN) jadi pilihan dilihat dari kesamaan ideologi. Dan itu, tak berubah hingga kini.

Baru di tahun 2004, ia dengan percaya diri mencalonkan diri sebagai DPRD Kota Pontianak dapil Pontianak Kota. Ia masuk di nomor urut lima. Karena tak ada pengalaman dan hanya mengandalkan para siswa dan kenalan, pemilihan pertama dilakukan Mujiono seadanya tanpa persiapan dan strategi matang.

Bisa ditebak, ia hanya mampu mendulang 100 suara.

Ia kembali mengajar. Meski hati kecilnya belum puas dengan hasil suara miliknya itu. Mujiono tak menyerah. Di tahun 2009, ia kembali maju. Namun, ia bingung karena sebelumnya ia mendaftar dan mengikuti tes CPNS.  

Hatinya bimbang memilih apakah jalur politik atau PNS. Pada akhinya, memantapkan tekad untuk mencalonkan lagi sebagai wakil rakyat dapil Pontianak Barat.  Kali ini, Mujiono punya persiapan matang. Terpenting, ia punya metode jitu untuk meraih suara maksimal.

Mulai Menjajal Wakil Rakyat

Setelah perjuangan dan strategi terfokus, Mujiono akhirnya mampu mendulang 1.040 suara.

Ia pun terpilih secara sah jadi wakil rakyat. Mulailah ia mencicipi dan menjajal area baru, anggota DPRD Kota Pontianak periode 2009-2014. Ia dikenal piawai.

Ia ditempatkan tak jauh dari minat dan keahliannya. Komisi D atau komisi yang membidangi soal pendidikan, kesehatan dan ketenagakerjaan.  

Selama ia menjabat, banyak karya dan percapaian yang sudah ia torehkan. Mulai dari sejumlah perda, baik perda pendidikan hingga ketenagakerjaan yang sudah diketok palu.

Tak hanya itu, ia pun sangat konsen membantu warga kota yang bermasalah dengan biaya sekolah, terkendala mengurus BPJS bagi warga miskin hingga membuat kebijakan yang ramah anak.  

“Kita menguatkan pendidikan. Kita dorong pendidikan menjadi prioritas utama. Kita fokus untuk hal itu. Bantuan untuk keluarga miskin, dana BOS kita berdayakan. Kita juga fokus tentang kesehatan,” jelasnya.

Kerap jadi ketua komisi, ketua fraksi maupun menjabat sejumlah jabatan penting di DPRD Kota Pontianak. Sebut saja, saat ini ia menjabat sebagai Ketua Badan Pembentukan Perda. Tugasnya, cukup strategis dalam mengakomodir sejumlah kebijakan yag berkaitan dengan persoalan rakyat.

Pengalaman ‘Ditikam’ Kader Sendiri

Karir pria yang gemar membaca ini tak selalu mulus. Karir politik yang dibangun ayah empat anak ini turun naik seperti ombak. Namun, yang membuat tak habis pikir, Mujiono harus berurusan dengan persoalan internal partai.

Persoalan yang berujung perseteruan antar kader internal PAN ini membuat Mujiono sebagai pimpinan partai Kota Pontianak terseret. Persolaan itu bermula saat PAN mampu menambah kursi di parlemen, pemilihan periode 2009-2014.

Ia tak menyangka rekan satu tim kerja yang sudah ia anggap keluarga ‘menikamnya’ dari belakang. Usai partainya bekerja keras dalam pencapaian enam kursi, ia malah digugat para DPC PAN tingkat kecamatan tanpa ia tahu apa penyebabnya.  

Mosi tidak percaya kepada dirinya membuat Mujiono bingung. Bahkan, ia dilaporkan oleh kadernya  karena diduga menggelapkan anggaran partai.

Ia yang awalnya bingung, mulai paham bahwa ada konspirasi untuk menggulingkannya jadi pimpinan partai dan calon pimpinan DPRD Kota Pontianak. Mua tidak mau, karena sudah bergulir ke ranah hukum, Mujiono menjalani tanpa takut. Ia hanya pasrah di tengah upaya pembelaan yang ia lakukan.

Usai proses hukum yang panjang dan melelahkan, Mujiono harus menerima keputusan akhir. Menerima hal itu tanpa banyak berfikir. Baginya, jika sudah ketetapan, ia akan menuntaskan hal itu.

“Di tusuk kader sendiri, itu yang membuat saya sakit. Harusnya dicari benar salahnya. Tapi, itulah kalau sudah buta kekuasaan, kawan pun disikat,” ucapnya.   

Tak Pernah Menyerah

Usai menyelesaikan persoalan hukumnya, Mujiono kembali ke pentas politik lagi. Ia bangkit setelah sempat terpuruk. Babak belur dipukul rekan sendiri, tak membekas dihatinya.

Ia sukses kembali dan mampu meraih simpati konsituennya yang masih percaya. Ini dibuktikan ketika ia mencalonkan lagi pada pemilu 2014-2019 dan terpilih untuk ketiga kalinya.

Mujiono sempat tak percaya. Hasil suara pun melonjak dari periode sebelumnya. Dari itu, ia bersemangat untuk makin mengabdi.   

“Jujur saya tak menyerah. Apapun yang terjadi pasti sudah Allah yang mengatur. Dengan dukungan masyarakat ini yang saya pikirkan. Bagaimana ke depan saya bisa lebih bermanfaat,” paparnya.

Di sisa masa jabatannya sebagai wakil rakyat, ia punya target lain. Menyiapkan pemilu 2024 untuk target Kalbar.

Ia mulai menyiapkan diri. Salah satunya survey keterpilihan. Dengan 20 ribu target, survey keterpilihan nantinya akan jadi patokan apakah ia maju di level provinsi atau tidak.

“Kita menggunakan aplikasi. Survey keterpilihan. Targetnya 20 ribu suara. Jika dalam survey mencapai 10 ribu di akhir tahun 2022 ini, maka saya akan maju. Tapi, sebaliknya, jika suara hanya 2000-3000 saya tidak maju,” ucapnya.  

Meski baru hitung-hitungan, tapi ia cukup serius. Untuk memaksimalkan rencana itu, ia harus bekerja keras agar realisasi survey sesuai harapan.

“Kita fokus pada target untuk menang,” katanya lagi.

Ingin Tingalkan ‘Warisan’

Saat ini, Mujiono hampir berusia 50 tahun. Dengan banyaknya perjalan hidup yang sudah ia lalui, bersyukur jadi kata akhir untuk menggambarkan hidup yang ingin ia jalani ke depan. Selain meninggalkan warisan untuk generasi di masa depan.

Ia sadar, banyak hal yang sudah ia capai. Pahit manis sudah ia rasakan di usianya yang sekarang ini. Jika ditanya mengapa ia ingin maju tingat provinsi, satu jawaban pria penyuka warna biru ini adalah ingin banyak berbuat lebih lagi.

Ia juga sadar, hidup dengan seusianya yang sekarang ini tak lama lagi. Untuk itu, keinginan Mujiono terbesar adalah bisa membuat konsituennya bisa menikmati apa yang ia perjuangkan. Pendidikan, kesehatan maupun lapangan kerja bisa mereka nikmati tanpa khawatir.

Kenginan terbesar Mujiono juga ingin mendorong banyak perubahan dalam sektor ekonomi masyarakat Kota Pontianak. Tercipta masyarakat mandiri dan kuat secara ekonomi.

“Itu tengah kita perjuangkan. Kesehatan sudah baik. Warga miskin kota banyak yang menerima haknya. Begitu juga pendidikan semua sudah bisa menikmati sekolah. Jika ada masalah, kita langsung turun. Nah, untuk ketenagakerjaan masih terus kita buat sejumlah kebijakanya. Setidaknya untuk usaha mandiri yang dioptimalkan,” papar Mujiono.  

Di tengah pesatnya jaman, masyarakat harus berlomba untuk paham pioritas. Makanya, sebagai wakil rakyat ia mengarahkan konsituennya untuk terus belajar dan terus membuka peluang.

Ia yakin, jika membenahi pendidikan, maka hal lain akan mengikuti. Mujioni tak malu mengakui ingin berkuliah lagi. Baginya, pendidikan sangat penting untuk mengubah arah hidup masyarakat.

Tak heran, ia sangat getol dalam hal pendidikan. Terutama merumuskan sejumlah aturan tentang pendidikan, termasuk soal kesejahteraan para pengajarnya.  Perda Pendidikan, Perda Kesejahteraan Guru, Perda Perlindungan Anak adalah segelintir aturan yang sudah ia sahkan lewat tangan dan kerja kerasnya.

Warisan kebijakan itu yang bisa ia turunkan. Pria yang punya cita-cita membuka kantor akuntan publik ini tak ingin neko-neko dalam hidup.   Selama ia bisa bermanfaat, maka ia siap mengabdi.

“Kantor akuntan publik ini sudah lama, karena saya kan mengajar di jurusan itu. Saya dalami lagi. Saya sekolah lagi, biar bertambah ilmunya,” ucap pria yang juga punya gelar Sarjana Hukum ini.

Pada akhirnya, kebijakan yang sudah ia loloskan menjadi harapannya menyangkut kesejahteraan masyarakat Kota Pontianak agar bisa terwujud.

Mujiono sadar, ia tak banyak uang, bukan kalangan pengusaha saat ia maju jadi wakil rakyat. Tapi ia punya kemampuan untuk membantu masyarakat menyelesaikan persoalan sosialnya. Kepekaan sebagai guru yang mengantarkan lebih sensitif terhadap persoalan warga.

Ia berharap,  ia bisa terus bermanfaat. Apapun yang terjadi, entah ia terpilih atau sebaliknya, ia masih terus bisa mengabdi. Banyak pintu lain untuk bisa berguna, karena ia yakin tak harus jadi wakil rakyat untuk bisa memberikan yang terbaik. (Wati Susilawati)

Leave a comment