Sunarto: Jalan Terjal Sang Transmigran, Antar Tiga Anak Sukses hingga Jadi Sarjana

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Mata pria tua itu nanar. Memandang lurus kerumunan di depannya. Tampak merah. Rahang bawah bergetar samar. Bibir tua itu mengatup rapat. Sesekali menghela nafas. Tak lama, tubuh ringkihnya bergetar hebat mendengar sebuah nama akrab dari pengeras suara di atas kepalanya. Air mata tak terbendung. Jatuh di pipi yang mulai keriput itu. Ia dipapah. Duduk sosok wanita disebalahnya. Membisikan kata-kata lembut, menenangkan. Tatapan bangga tertuju ke depan. Pria tua itu lagi menangis. Ia adalah Sunarto dan istrinya, Eka Sumaryanti. Datang, dari desa jauh di ujung Kalbar. Hari itu, mereka hadir di wisada anak ketiganya. Dari lima anak, tiga lulusan sarjana di salah satu universitas bergengsi di Kota Pontianak. Mereka berasal dari Desa Seluas, Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang. Nama asing di telinga. Terletak di ujung perbatasan. Tak jauh dari pos lintas batas dua negara Indenesia-Malaysia. Butuh tiga jam untuk sampai ke lokasi desa, jika berangkat dari pusat kota Bengkayang. Sosoknya bersahaja. Sederhana. Apa adanya. Tak terlalu menuntut dalam hidup. Pekerja keras. Ini terlihat dari garis-garis di wajah tuanya. Tampak lelah. Tapi masih energik. Dua hari sebelumnya, ia diwanti-wanti datang ke Pontianak oleh anak ketiga itu. Katanya, bapak ibunya harus hadir di wisudanya. Sunarto bangga akan anaknya itu. Meski dari desa jauh, tapi semangat belajar anak-anak sangat besar. Ini sudah ketiga kalinya, ia datang ke ibu kota provinsi Kalbar. Pakai bus antar daerah. Niat memberi kejutan untuk anak gadisnya itu. Anaknya diwisuda, dan menyandang gelar Sarjana. Sunarto tak hanya bangga tapi haru. Perjuangan dengan jalan terjal tak sia-sia. Kerjas keras pun terbayar lunas. Baginya pendidikan anak-anak sangat penting. Meski hidup susah, tapi soal pendidikan, harus utama. Berlayar di Tanah Harapan Bertandang ke rumah Sunarto di Desa Seluas butuh persiapan. Letaknya di tengah perkebunan kelapa sawit. Jalan tanah merah, dan tanjakan menjadi persoalan saat ke lokasi itu. Rumah Sunarto sangat sederhana. Menyerupai gubuk tua. Dengan dinding kayu sederhana. Lantai kayu papan tua. Perabotan hampir tak ada. Hanya kursi dan hiasan di sudut ruangan. Sunaro dan keluarga bukan asli Kalbar. Ia adalah pendatang. Ia terpilih ikut program transmigrasi tahun 1996. Aslinya orang Jogjakarta. Waktu itu, masih orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Pemerintah tengah menggencarkan program transmigrasi Jawa-Kalimantan. [caption id="attachment_30722" align="alignnone" width="750"]Rumah gubuk tua sederhana tempat Sunarto dan keluarga besarnya tinggal sejak 1996. ist
Rumah gubuk tua sederhana tempat Sunarto dan keluarga besarnya tinggal sejak 1996. ist[/caption] Terpilih Kalbar menjadi rumah baru Sunarto dan 23 kepala keluarga Jogja lainn. Selain mengadu nasib, berharap ada secercah asa di tanah baru itu. "Untuk mengubah nasib diperantauan dan tanah harapan," katanya. Awalnya sulit beradaptasi. Tanah baru, suasana dan iklim berbeda dibanding tanah asal jadi kendala utama. Tapi, itu tak lama. Sunarto dan istri cepat menyesuaikan. Dimulailah babak baru hidup mereka. Saat itu, rumah masih ala kadarnya. Pondasi tiang kayu. Tapi, jadi sarang dari tempias hujan dan terik matahari. “Anak masih kecil-kecil. Jadi, tak beban. Mereka main saja. Yang penting, tak kehujanan saja. Aman. Lainnya bisa pelan-pelan. Kita masih membangun di tanah harapan ini,” ujarnya. Dari Duka Jadi Motivasi Tak lama pindah di lokasi itu, kerusuhan terjadi. Menyebar di Bengkayang dan sekitarnya. Mereka panik. Sebagai pendatang, tak tau harus berbuat apa. Untungnya, kepala desa setempat menenangkan. Tak terjadi apa-apa saat itu. “Tapi jujur, takut juga,”ujarnya. Kalbar pun berduka. Dari tahun 1996-1999 kerusuhan kerap terjadi dan berulang. Sebagai orang perantauan, ia sempat berfikir untuk pulang. Namun, sang istri menguatkan. “Karena kita sudah di sini, ya lanjutkan. Berdoa saja,” terangnya. Kejadian itu lantas membuat Sunarto makin termotivasi. Bisa dikatakan desanya, sangat tertinggal. Namun, tak lantas ia berpangku tangan. Kebetulan, perkampungan Sunarto dikelilingi perusahaan sawit perusahaan yang tak terurus. Memberanikan diri ia malamar di sana. Ia diterima sebagai pekerja sawit sampai sekarang. Makin termotivasi untuk bekerja. Tujuan Sunarto satu, ingin istri dan anak-anak bisa makan dan sekolah. “Pokoknya bisa makan dan sekolah anak. Cukup bagi saya,” ujarnya. Pantang Menyerah untuk Keluarga Sunarto lahir di Yogyakarta. Tepatnya, 17 April 1967. Punya lima anak. Anak pertama Mangiasih Nawarespati. Anak kedua Dian Dwi nurhayati. Anak ketiga ,Tri Kurniawati Ramadani. Anak keempat, Radit Doni Saputro dan si bontot, Ponco Ari Wibowo . Istrinya seorang guru negeri. Namanya, Eka Sumaryanti. Gambaran keluarga sederhana. Tak berlebihan. Sebagai kepala keluarga, Sunarto harus banting tulang. Tinggal di daerah terpencil, menghasilkan rupiah bukan hal mudah. [caption id="attachment_30724" align="alignnone" width="750"]Sunaro dan istri tampak bersahaja saaat disambangi di rumah gubuk sederhannya. Ist Sunaro dan istri tampak bersahaja saaat disambangi di rumah gubuk sederhannya. Ist[/caption] Upah diperkebunan menjadi tumpuan. Meski kerap tak cukup. Terpaksa, ia ia mencari kerja sampingan. Padahal, sebagai warga transmigrasi, ia diberi hak tapi tak pernah ia rasakan. Sunaro dan istri tampak bersahaja saaat disambangi di rumah gubuk sederhannya. Ist “Tanah plasma yang dijanjikan hanya angan-angan,” katanya. Istrinya, sosok ibu gigih. Sang istri sempat menempuh pendidikan di SPG Negeri IKIP Yogyakarta. Sebelum transmigrasi ke Kalimantan Barat. Latar belakang pendidikan yang cukup membuat sang isri membentuk kelompok belajar di desanya. Hingga kini kelompok belajar ini jadi SDN 17 Pereges, Dusun Sinar Galih, Desa Seluas. Dari tahun 2000- 2020 amanah guru terus ia emban sampai pensiun. Mendamping Sunarto kala susah. Tak menyerah akan keadaan. Fokus Pendidikan Anak Biar miskin, biar makan seadanya tapi anak-anak harus dapat yang terbaik. Sunarto sosok ayah disiplin. Soal sekolah kelima anaknya, tak ada kompromi. Harus tuntas. Ia hanya lulusan SMA, tapi Sunarto mendidik anak-anak akan pentingnya pendidikan. Target Sunarto, lima anaknya lulus perguruan tinggi. Keterbatasan ekonomi, tak jadi penghalang. Tak jadi soal dan tak jadi hambatan. Ia mengingatkan sang anak, daya juang tinggi untuk meriah cita-cita, modal terpenting. “Saya menanamkan itu. Jangan patah asa. Terus berjuang. Pasti bisa,” ujar pria tua itu. Sebagai orang tua, sulit bagi pasangan ini membiayai pendidikan anak-anak mereka. Berbekal yakin dan tekad, pasangan ini optimis, kesuksesan hanya soal waktu saja. “Dari penghasilan sehari-hari, susah tapi akan selalu ada jalan,” ucap Sunarto. Sejak dini, arti penting pendidikan terus diberikan kepada lima anaknya. Belajar, berusaha dan berdoa mereka tanamkan pada anaknya biar jadi sukses. Saat sang istri diterima jadi PNS, keuangan sedikit membaik. Mereka bisa meminjam uang untuk menambah kebutuhan anak mereka yang sedang kuliah di kota. “Namanya orang tua. Apapun kita lakukan,” ucapnya. Tak Ada Listrik, Belajar Sulit Karena tinggal di desa terpencil, fasilitas belajar minim. Otomatis belajar sang anak terganggu. Parahnya, tak ada listrik di rumah kayu itu. Sehari-hari, penduduk di sana masih pakai pelita. Biasanya ia dan warga lain menumpang berbagi genset tetangga. Per bulan ia harus bayar. Untungnya, orang mampu di kampungnya berbaik hati tak membebani soal harga. "Sudah 10 tahun. Baru ditahun 2000 an pembangkit listrik kami gunakan. Itu pun kalau cuaca bagus. Untuk ada orang kaya di kampung, numpang genset," ujarnya. Soal upaya, Sunarto dan warga lain kerap mengajukan listrik. Bukan apa, tapi hanya untuk belajar anak-anak. “Kasihan anak-anak kami. Belajar butuh penarangan bagus. Kalau tidak ya sulit juga,” katanya lagi. Tak hanya kondisi penerangan. Kondisi jalan desa yang rusak parah. Belum lagi fasilitas sekolah di desa minim. Tak memadai. Tapi, sekali lagi itu bukan jadi masalah. Bagi Sunarto kalau tidak susah, tak akan belajar menghargai apa yang sudah diberikan. Pelajaran hidup harus jadi ukuran bagi anak mereka. Motivasi pendidikan kuncinya semangat kehidupan. Keterbatasan ekonomi bukan penghalang dalam menyekolahkan anak mereka. Buah Dari Keja Keras Tak hanya berja keras, mereka juga memperbanyak doa lewat shalat malam memohon pertolongan Allah. Mempermudah urusan dan rezeki. Termasuk pendidikan anak-anak mereka. Terbukti, anak ketiganya Tri Kurniawati Ramadani, mendapat beasiswa bidik misi dari pemerintah. Tri merupakan satu-satunya siswa di SMA 1 Seluas yang mendapat beasiswa Bidikmisi. "Alhamdulillah, doa kami dikabulkan,"ujarnya. [caption id="attachment_30723" align="alignnone" width="750"]Dengan bangga pasangan ini menunjukkan dedikasi perjuangan sebagai orangtua yang sukses mengantar anak-anaknya hingga lulus sarjana. Ist
Dengan bangga pasangan ini menunjukkan dedikasi perjuangan sebagai orangtua yang sukses mengantar anak-anaknya hingga lulus sarjana. Ist[/caption] Mereka meyakini, dengan kerja keras, usaha dan doa, akan selalu ada jalan dari yang maha kuasa. Anak keduanya, Dian Dwi Nurhayati mengikuti jajak sang adik. Melihat adiknya lolos kuliah, merasa bangga dan terpacu untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuk kuliah. Hingga di tahun kedua, Dian merantau ke Pontianak dan bekerja di salah satu butik sebagai karyawan. Ia pun melanjutkan kuliah di Universitas Tanjungpura, Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi. Semangat itu pun tertular di anak keempat Radi T Doni. Setelah lulus dari SMA, ia melanjutkan studi di perguruan tinggi Universitas Tanjungpura, Fakultas Kehutanan. Dalam masa studinya, Doni juga bekerja mandiri. Ia tak mau merepotkan para kakak. Apalagi, orangtuanya. Sunarto bersyukur di usianya yang 55 Tahun, anak-anak sudah pada sarjana. Kecuali anak pertama yang sudah berkeluarga, membantu perekonomian mereka pada awalnya. Sementara anak bungsu yang masih kelas 3 SMA. Hingga ketiga anaknya tersebut, sudah sarjana. Anak keduanya, Dwi Nurhayati Kini telah menjadi kepala sekolah salah satu sekolah di Kecamatan Seluas. Kemudian, Anak ketiganya Tri Kurniawati Ramadani saat ini bekerja di salah satu perusahaan di Pontianak. Anak keempatnya, Radi T Doni Saputro kembali ke kampung halaman ingin mengembangkan potensi di kampung halamannya, sesuai dengan jurusan kehutanan yang ia tempuh. Sedangkan anak kelima segera akan melanjutkan pendidikan perguruan tinggi setelah lulus SMA nantinya. Wariskan Pendidikan Sunarto dan istrinya, tak banyak menuntut dalam hidup. Ia hanya ingin anak-anaknya lulus sekolah dan bekerja mandiri. Tak tergantung orangtua. Mereka tak kaya, tak bisa memberi warisan harta. Namun, ia ingin memberi warisan pendidikan untuk kelima anaknya. Kepada para keluarga agar senantiasa selalu bersemangat dan berjuang dalam memberikan pendidikan kepada para anak-anak. Mesti dengan keterbatasan. Semangat usaha dan doa akan selalu membuahkan hasil apabila tulus dan ikhlas dalam menjalankan hidup. "Keajaiban akan tampak kepada para insan yang selalu berdoa dan berusaha kepadanya," tutupnya. Sejak dini, arti penting pendidikan terus diberikan kepada lima anaknya. Belajar, berusaha dan berdoa mereka tanamkan pada anaknya guna menggapai cita-cita. Sunarto layak bangga karena ketiga anaknya telah lulus menempuh pendidikan sarjana.(Teguh Agung Baruna). ****

Leave a comment