Menyingkap Perjalanan Toko Kelontong dari Masa ke Masa

11 November 2022 15:18 WIB
Ilustrasi

Insidepontianak.com - Kehadiran toko kelontong di tengah-tengah pemukiman sangat membantu warga sekitar, mereka tidak perlu menyalakan motor lagi bila ingin membeli keperluan.

Lain dulu lain sekarang, kini pemilik toko kelontong tidak didominasi para kokoh-kokoh (sebutan pemilik toko keturunan Cina), penduduk lokal pun ikut-ikutan mencari rezeki lewat warung sembako semacam ini.

Berbeda dengan toko-toko modern sekarang, kehadiran toko kelontong masih melayani uang cash, jadi walau internet down kita tidak perlu repot membayarnya. 'Ngebon' pun masih suka dilayani si pemilik toko.

Baca Juga: Pencuri Motor di Jalan 28 Oktober Ditangkap, Diciduk Polisi Saat Hendak Transaksi

Toko kelontong menjual macam-macam kebutuhan, dari masalah perut ada, urusan kamar mandi, pil kesehatan, bahkan alat tulis juga ada. Perbedaan yang signifikan dari jenis toko lain, yakni harganya bebanding miring.

Perbedaan lain, kita bisa menemukan toko kelontong dimana saja, bahkan di lingkup RT pun kita sudah bisa temui. Berbeda dengan supermarket atau mall, kita harus menggunakan tenaga untuk menjangkaunya.

Sedangkan kalau membahas sejarahnya, literatur yang merekam sejarah toko kelontong masih sedikit, mungkin cuman satu atau dua yang bisa ditemui saat berselancar di internet.

Toko kelontong dimulai dari komunitas Cina yang bermukim di Indonesia untuk berdagang. Mereka berkeliling ke kota-kota untuk menjual barang dagangannya, tak hanya kota besar yang menjadi target menjajakan barangnya desa-desa pelosok pun disinggahi.

Mengutip dari Yudi Prasetyo dalam 'Dari Pikulan ke Kelontong: Tionghoa dan Toko Kelontong Yogyakarta 1900 – 1942' (2020), orang Cina pada mulanya menjual dengan cara berkeliling sambil membawa 'Kelontong' (alat bunyi-bunyian) untuk memikat pelanggan.

Berdagang dengan cara berkeliling dilakukan oleh etnis Tionghoa (Totok) pada abad ke 19-an. Barang dagangan yang dibawa biasanya berupa garam, kapas mentah, anyaman bambu dll.

Seiring masuknya es yang diimpor dari Amerika, mereka juga mulai menjual es dan bir, kedua daganagan ini pada abad ke-18 sangat diminati oleh pribumi.

Berkat ketekunan pedagang Tionghoa menjajakan dagangan, merekapun berinisiatif menjual barang-barang dengan cara menetap, mereka menyebutnya ruko.

Arif menjelaskan bahwa arsitektur ruko memiliki kesamaan dengan pertokoan Fujian dan Guandong di Negara Cina pada abad ke-19. Konsepnya terdiri dari bangunan yang memanjang lurus, biasanya terdiri dari dua toko saling berhadapan.

Walaupun mereka sudah menetap di ruko-ruko mereka, nama kelontong masih melekat. Hal ini berbeda dengan toko-toko milik orang Sumatera atau keturunan Melayu, pada kasus ini mereka menyebutnya dengan 'kedai'.

Di toko kelontong, orang Tionghoa tidak hanya menjual barang dagangan, merekapun juga membuka jasa pinjam-meminjam untuk kalangan pribumi yang mengalamin kesulitan ekonomi atau modal.

Baca Juga: Bupati Sanggau Kembali Melepas Kontingen Atlet Ikuti Porprov Kalbar, Harap Ukir Sejarah

Ketika krisis enokonomi terjadi pada tahun 1930-an akibat imbas Perang Dunia I, banyak penduduk di belahan dunia mengalami kekurangan pangan, termasuk Indonesia.

Masa sulit itu mengakibatkan toko kelontong juga menjual kebutuhan sembako.

Semenjak itu sampai sekarang, toko kelontong menyediakan barang kebutuhan apapun. Akan tetapi, pemiliki toko sudah tidak di dominasi oleh warga Tionghoa lagi, banyak kalangan pribumi yang juga merintis usaha dengan membuka kelontong. ***

Tags :

Leave a comment