Arif Joni: Jalan Pedang Anak Asrama

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

Bunyi piring memecah malam. Bunyinya tak kentara. Samar, tapi cukup membuat orang berpaling. Lampu redup temaran di sejumlah sudut asrama, tampak kuyu dan tak bersemangat.

Seorang pemuda membawa piring, lantas duduk di selasar. Tak jauh dari emat orang temannya. Ia tak menyentuh makanan itu. Hanya melihat apa yang ada dalam piring. Nasi dan garam, dicampur minyak.

Ia menghela nafas. Tak mengeluh. Hanya raut wajah maklum. Arif Joni, begitu orang memanggilnya. Ia mencoba berdamai dengan kondisinya, saat itu.

Jatah makan sehari hanya Rp10 ribu. Lauk seadanya. Jika pun beruntung, palingan ada sepotong ikan asin, plus kerupuk memecah rasa di lidah. Sayur biasanya ada kangkung. Tak dibeli, tapi hasil penen di belakang asrama. Tumbuh alami. Gratis dari alam. Seolah-olah Tuhan tahu, derita Arief Joni dan rekan lainnya. Makanan dijatah. Sehari hanya boleh makan dua kali.

Anak Asrama Lanud

Asrama Lanud di Jalan Imam Bonjol, Pontianak, seolah jadi saksi bisu perjuangan Arief Joni, saat kuliah. Ia cepat beradaptasi. Tak menggerutu, apalagi kecewa. Baginya, ini kehidupan dan fase hidup yang harus dijalani.

Tidur berlima dalam ranjang deret. Dempet-dempetan. Tak boleh ribut. Jam tidur semua harus diikuti.

Ia paham. Ekonomi keluarga terbatas. Kondisi itu memaksanya harus mandiri. Meninggalkan rumah, demi mengurangi beban ekonomi orang tua. Ia berasal dari keluarga besar. Masih ada beberapa adik yang harus dibiayai keluarga.

"Jadi, saya memutuskan tinggal di asrama,” tutur Arif.

Ia tinggal berlima dalam satu kamar. Setiap hari, ada jadwal khusus. Ada yang masak, membersihkan asrama.

Dari kondisi titik terendah itu, tekad dibangun. Mimpi digantungkan. Nasib harus diubah. Sebagaimana ajaran agama. Mengubah nasib harus diperjuangkan. Ada kerja keras, tulus dan ikhlas.

Arif Joni kuliah di Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura. Kuliah sambil kerja dijalani. Ia mengajar. Di beberapa sekolah ternama di Pontianak. Satu di antaranya, SMA Muhammadiyah. Pekerjaan mengajar, ia dapat dari sang dosen.

Awal tawaran mengajar, tak datang tiba-tiba. Di kelas kuliah, Arif dikenal sebagai salah satu mahasiswa cukup berprestasi. Seorang dosen mengagumi. Dari sini, tawaran mengajar didapat.

Dia mengajar mata pelajaran fisika dan matematika, tahun 1987. Dari sinilah, perlahan nasib baik mengikuti. Honor jadi guru di beberapa sekolah ternama, lumayan besar seperti SMP dan  SMA Muhammadiyah, SMA 3 Pontianak hingga SMA Mujahidin.

"Waktu itu, sebulan saya dapat honor sekitar Rp 25 ribu. Di masa itu, besar sekali punya duit segitu. Cukuplah bisa jamin kawan di asrama," tutur pria kelahiran Lamongan, 20 Januari 1966.

Dari Asisten RT Jadi Insinyur

Seiring berjalan waktu, Ia meninggalkan asrama tentara. Harus berpisah dari empat teman seperjuangan. Kamar kecil yang punya cahaya redup, lusuh, dan sempit itu ditinggalkan.

Ia pindah ke rumah dosen. Diajak bantu membersihkan rumah.

Hidup baru dimulai. Tinggal di rumah dosen harus menyesuaikan. Mesti pandai melihat kondisi. Tak boleh malas, supaya tuan rumah tak merasa dibebani.

"Saya ngepel. Membersihkan rumah setiap pagi. Jadi OB lah. Seperti asisten rumah tangga. Ya, begitulah kalau tinggal di rumah orang. Harus pandai-pandai bawa diri," ucapnya.

Setiap bulan, ia dikasi uang saku oleh sang dosen. Sebagai honor beres-beres di rumah. Lumayan untuk tambahan jajan di luar honor mengajar. Pekerjaan itu dijalani dengan nyaman.

Didikan keras membentuk mental. Arif bertekad, kuliah harus selesai cepat. Meski sambil bekerja. Supaya tak lama numpang di rumah dosen.

Tepat lima tahun, Arif lulus. Jadi insinyur. Bagi mahasiswa teknik, lulus lima tahun sudah cepat. Ia diwisuda dengan nilai cukup membanggakan.

Setelah lulus, perjuangan mengubah nasib, baru benar-benar dimulai. Arif naik level. Ia mengajar di kampus. Jadi dosen di beberapa universitas. Namun, mengajar di SMA sebagai guru Fisika, juga tetap dijalani. Semua dikerjakan sekali jalan.

Ekonomi mulai terbangun. Perlahan, ia dapat hidup mandiri. Kembali ke rumah orang tua, bantu ekonomi keluarga.

Sebelumnya, Arif menamatkan sekolah di kampung kelahirannya, Lamongan, Jawa Timur. Ia lulus di Madrasah Ibtidaiyah, 1978. Ia lulus SMP Muhammadiyah 5 Lamongan, 1981. Tahun 1985, ia lulus dari SMA Al-Islam I Surakarta, Jawa Tengan. S1dan S2 di Fakultas Teknik Untan.

Politisi dan Jalan Pedang

Orang tahunya, Arif Joni politikus besar di Kalbar. Menahkodai Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kalbar. Dia dua periode duduk di DPRD Kota Pontianak, 2004-2014.

Sukses melanjutkan perjuangan politik rakyat, dengan jabatan anggota DPRD Provinsi Kalbar, 2019-2024. Pencapaian karir ini tak lepas dari kerja keras dan perjuangan. Tapi, siapa yang tahu, perjuangan mantan guru ini tak mudah. Penuh liku. Tantangan bahkan kegagalan. 

Ia masih ingat, saat mulai menampak karir politik. Sejatinya, ia telah merintis sejak jadi mahasiswa. Ia merupakan aktivis kampus. Tergabung di berbagai organisasi internal maupun eksternal kampus. Tak heran, kepemimpinan Arif Joni menjadi matang. Dalam berbagai kondisi apapun, ia bisa beradaptasi dengan cepat.

Ia pernah mengajar 16 tahun. Tak mudah berpaling dari profesi yang membesarkannya itu. Namun, siapa yang tahu nasib. Tahun 1998, masa pergantian kekuasaan terjadi di tingkat pusat. Orang menyebutnya Era Reformasi. Di sana, muncul sejumlah partai baru. Salah satunya, Partai Keadilan (PK) yang dideklarasikan di Aula Masjid Al-Azhar pada 20 Juli 1998. Namun, pada pemilu 1999, PK kurang mendapatkan suara secara nasional.

Berdasar website PKS, akibat UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999, tentang Pemilihan Umum, dan syarat berlakunya batas minimum keikutsertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua persen, maka PK harus mengubah namanya untuk dapat ikut kembali di Pemilu berikutnya.

Pada 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera) menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkehham) di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (setingkat Propinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat Kabupaten/Kota). Sehari kemudian, PK bergabung dengan PKS dan dengan penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi milik PKS, termasuk anggota dewan dan para kadernya. Dengan penggabungan ini maka PK (Partai Keadilan) resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).

Ia merasa terpanggil. Dukungan para sahabat, semakin menguatkan langkah. Akhirnya, dia memilih jalan pedang. Jadi politisi. 

Berbekal keyakinan, guru fisika ini pun ambil bagian dari partai itu. Bahkan, ia jadi deklaratornya di Pontianak. Ia didaulat menjadi Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Arif punya keyakinan, politik  jadi tempat baik. Tempat berkontribusi lebih besar untuk orang lain. Juga tempat mengaktualisasikan mimpi, terus berbuat baik. Sebab, ia punya motto hidup, ‘Dalam setiap kesempatan adalah peluang, untuk berbuat baik, dan bermanfaat untuk orang lain.’

“Sehingga, dimanapun saya diberikan kesempatan. Tujuanya, untuk bisa berbuat baik, bermanfaat itulah yang akan dilakukan. Termasuk, saat duduk di kursi DPRD,”kata Arif.

Dalam politik, pria yang hobi jogging ini bisa melipatgandakan kebaikan. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan, ketika hanya jadi pimpinan di berbagai lembaga. Di politik, Arif yakin bisa saja merekomendasikan kegiatan yang nilainya puluhan juta, ratusan dan miliar yang bermanfaat buat umat. Lewat kebijakan yang dibuat.

“Jika sebagai ketua lembaga, berapa kapasitas anggaran yang bisa kita keluarkan. Kalau kita mau bantu masyarakat miskin, paling hanya bisa 10 sampai 20. Paling banyak bahkan seribu orang,” terangnya.

Namun, di politik jutaan orang dapat diadvokasi untuk mendapatkan kesejahteraan, dari kebijakan politik yang bisa diperjuangkan. 

Modal Nekat dan Tekad

Lima tahun berproses di PKS, Arif Joni mulai matang. Ia memutuskan langkah jadi calon anggota legislatif tahun 2004. Langkah itu terbilang nekat.

Ia tak punya modal atau didukung anggaran. Hanya modal tekad, ikhlas dan jujur membangun kepercayaan, agar dapat terpilih. Namun, ia bawa komitmen mengawal pembangunan Kota Pontianak yang lebih baik.

Dia yakin jalannya benar. Arif teringat kata bijak sang ibu, ‘Agar tak takut apapun. Jika benar harus istiqomah.’ Tak ada kata pantang dalam kamus Arif Joni. Apalagi melihat ke belakang.  Saat hati sudah mantap, perjuangan pun dimulai.

“Dua pesan inilah yang mewarnai kepribadian saya,” katanya.

Allah menjadi penguatnya. Tak punya anggaran, bukan berarti tak bisa mendulang suara.  Arif sudah menyiapkan skema dan strategi. Arif tak muluk. Hanya memanfaatkan silaturahmi dengan masyarakat. Berdiskusi dan berdialog, jadi bagian skema.

Silaturahmi itu tak kenal suku dan agama. Arif berjuang berkeliling Kota Pontianak. Menjumpai banyak teman, kolega hingga murid yang pernah diberikan pendidikan. Rupanya, orang-orang itu punya andil besar bagi kemenangan Arif. 

“Murid saya banyak yang mengkampanyekan saya,” kata dia.

Selain murid, relawan juga terus bekerja memberikan arahan konstituen yang potensial untuk didekati, dan menjadi lumbung suara. Tak disangka, kerja keras itu membuahkan hasil.

Raihan suara Arif pun mencegangkan. Apalagi untuk politikus pemula. Ia meraih 1.966 suara. Arif membuktikan, politik bersih dapat mengantarkannya jadi dewan. Itu tak lepas dari kerja keras relawan dan murid. Tak ada tak yang namanya money politic, dan pembagian sembako yang dilakukan, untuk menyogok masyarakat.

Konstituen Militan    

Arif Joni punya konstituen militan. Tak kenal pantang. Jika itu titah, maka tak ada kata mundur. Selama nyaleg, dia tak pernah merasa gagal. Tiga periode jadi dewan. Bahkan, meraup suara tertinggi pada pemilihan legislatif 2019, saat maju untuk DPRD Provinsi Kalbar, dapil Kota Pontianak. Praktis, capaian yang tak bisa disangkalkan. Pemilihnya militan.

Bagi Arif, modal utama menjaga konstituen adalah bersilaturahmi. Tak heran, selama jadi dewan, Arif tak sekadar melaksanakan kegiatan kedewanan, seperti reses. Namun, ia juga punya agenda khusus, menyerap aspirasi pendukung. Misalnya, silaturahim dan ngopi dengan tokoh agama dan masyarakat. 

“Biasanya ngopi. Bisa di masjid, warung kopi, dan rumah-rumah,” katanya.

Arif sadar sekali, tak mudah mengakomodir semua kepentingan warga. Sebab, banyak harapan belum bisa dilakukan, karena keterbatasan kewenangan yang dimiliki di kursi legislatif.  Sebut saja soal pembangunan yang tak merata, dan butuh satu hingga dua tahun terwujud.

Melalui silaturahmi itulah, Arif berbicara dari hati ke hati, apa saja yang sudah dilakukan dan diperjuangkan, walau hasilnya belum terwujud.

“Silaturahmi inilah jadi tempat berkomunikasi dan edukasi, sehingga masyarakat paham APBD kita terbatas, dan ada skala prioritas dan pengambil kebijakan itu, bukan hanya eksekutif,“ tuturnya.

DNA PKS dan Konsistensi

Arif merupakan kader PKS yang militan. Sepanjang karier di dunia politik, ia tak pernah lompat pagar atau pindah partai. Setia bersama partai berlatar putih itu. Bisa dikatakan harga hidup.

Bagi Arif, PKS bukan hanya tempat mengaktualisasi diri untuk berbuat baik. Juga organisasi yang membentuk karakter dirinya, sehingga berada di titik saat ini. Arif yakin, PKS punya cita-cita, sebagaimana pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

“Untuk itulah, saya menganggap PKS menjadi sarana perjuangan saya, untuk bangsa dan negara,” kata Arif.

Di PKS, Arif menemukan solidaritas dan persaudaraan. Sangat kental. PKS besar karena soliditas kader. Mereka punya sikap hormat pada pimpinan. Taat pada sesuatu yang sudah diputuskan.

“Ini menjadi DNA PKS,” kata dia.

Sebagai pimpinan, Arif berutang budi kepada seluruh kader dan pengurus. Sebab, seringkali terjadi silang pendapat karena beda pilihan. Tapi, begitu diputuskan, semua jajaran menghargai putusan. Siap melaksanakan keputusan partai dengan sebaik-baiknya.

Arif yakin, soliditas kader jadi modal PKS, meningkatkan kursi di Pileg 2024.

“Kita menargetkan, tahun 2024 setiap kabupaten/kota, terbentuk satu fraksi PKS. Dengan demikian, kita punya bargaining untuk menggolkan harapan dan cita-cita masyarakat,” ujarnya.

Ketua PKS Kalbar, Arif Joni Prasetyo meluncurkan program ATM beras di momen peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-78, Kamis (17/8/2023). (Istimewa)
Ketua PKS Kalbar, Arif Joni Prasetyo meluncurkan program ATM beras di momen peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-78, Kamis (17/8/2023). (Istimewa)

Target Pilwako

Tiga periode sudah, Arif menjadi anggota DPRD. Arif menyadari, banyak hal belum dapat dilakukan. Sebab, keterbatasan kewenangan yang dimiliki. Untuk itu, Wali Kota jadi mimpinya.

Dukungan untuk dirinya maju di Pilwako Pontianak, merupakan dorongan kader PKS. Hal tersebut mengacu pada perolehan suara pada Pileg 2019 di Pontianak.

Para kader berharap, Arif dapat menjadi solusi dari masalah Ibu Kota Provinsi Kalbar. Salah satunya banjir, kemacetan dan penuntasan kawasan kumuh Pontianak, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di tengah kondisi pandemi.

Namun demikian, Arif memastikan, niatan baik itu akan mengacu pada hasil survei. Apabila memungkinkan maju atau tidaknya bertarung di Pilwako.

Sebagai pimpinan partai, kekuasaan bukan hal mutlak. Tapi, mengubah kebijakan lebih baik dibutuhkan kekuasaan. Tujuannya, membangun lebih baik, bijak dan generasi kuat berikutnya.

Terlibat dalam Pilwako bukan soal sekadar mimpi. Setiap politisi, pasti punya pencapaian akhir. Bagi Arif, Pilwako bukan kata akhir. Tapi, progres hidup yang baru dimulai. Tak ada yang selesai dalam politik. Selama sumbangsih dibutuhkan, maka jalan pedang yang dipilih tak akan sia-sia.

Cit-cita Arif Joni maju Pilwako, tentu bukan putusan sekelebat. Berawal dari kamar sempit. Pengab dan himpit. Lebih memudahkannya, menatap langit dan semesta. Pencapaian yang lahir dari kondisi obyektif dan pengalaman hidup.

Sebagaimana orang bijak selalu memberikan petuah, “Jangan berharap perubahan pada orang yang tak pernah susah. Sebab, mereka tak pernah mengalami, perihnya lapar yang kau alami.” (Abdul Halikurahman dan Andi Ridwansyah)

Leave a comment