Resume Novel Serangkai Karya Valerie Patkar

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Judul Buku: Serangkai Penulis: Valerie Patkar Penerbit: Bhuana Ilmu Populer Tahun Terbit: 2021 Tebal: 400 halaman Serangkai merupakan karya dari penulis Valerie Patkar. Mengisahkan tentang Kai Deverra yang masih bertarung dengan dukanya, akibat ditinggal oleh sang mantan kekasih. Namun, hal ini membawanya bertemu Karina Maladivas Nota, sosok gadis yang keras dan penuh misteri. Kai Deverra merupakan seorang pembalap ternama Indonesia yang sudah dikenal hingga internasional. Di saat yang sama, Divas, merupakan seorang dokter yang kala itu ikut menjadi bagian dari tim medis klub Kai. Watak Divas yang ceplas ceplos dan Kai yang keras kepala, membuat pertemuan mereka berdua diisi oleh adu mulut. Ketika pengecekan sebelum hari kualifikasi, Divas melarang Kai untuk ikut pertandingan akibat kondisi tubuhnya yang tidak fit. Namun, Kai Deverra tidak pernah meninggalkan setiap kesempatan yang ada, untuk turun ke sirkuit membawa nama klubnya. Hal ini memicu perdebatan di antara mereka. Selain tubuhnya yang tidak fit, Kai juga tidak fokus setelah mendapat undangan pernikahan dari sang mantan kekasih, Claire. Hal ini mengakibatkan Kai terlibat kecelakaan ringan yang membuatnya harus rehat dari sirkuit beberapa saat. Kai kembali ke Jakarta untuk menjalani fisioterapi, tanpa disangka, hal ini membawanya kembali bertemu Divas, yang saat itu menjadi asisten dokter Kai. “Dokter Divas, ini Kai Deverra, dia pembalap tim BehIND, kakaknya Dokter Nima.” “Udah kenal kan kita? Masa mau kenalan lagi.” Hari-hari berlalu, Kai dan Divas menjadi semakin dekat. Kai mulai mengenal Divas dan semua kebiasaan anehnya. Divas yang suka berdiam diri di ruang istirahat setiap jam 6 sore, hanya termenung sambil mendengarkan lagu Kasih Tak Sampai milik Padi di Ipod kuno yang selalu ia bawa. Divas yang selalu memilih untuk tidur di lantai, seolah permukaan kasar itu lebih nyaman dibandingkan kasur empuk. Divas yang selalu membawa keripik balado, namun tak pernah ia makan dan hanya ia bagikan kepada rekan-rekannya di rumah sakit. Divas yang menghabiskan seluruh waktunya di rumah sakit, seakan ia enggan untuk kembali ke rumah. Dari kedekatan mereka, Kai belajar banyak hal dari Divas. Kai yang selama ini selalu merasa bersalah, berduka, dan marah atas putusnya hubungan mereka berdua, mulai menerima keadaan. Ia berdamai dengan lukanya, dengan bantuan kecil dari kata-kata Divas. “Luka hati tuh ngerepotin banget. Bikin sakit, bikin nggak bisa ngapa-ngapain, bikin capek, bikin kepikiran. Itu kalau lukanya diterima, apalagi nggak diterima coba? You will always lose things if you keep acting up as if you’re fine and ignoring your shits.” Sedikit yang Kai ketahui mengenai Divas, namun hal ini juga yang membuat Divas terlihat sangat menarik baginya. Pertengkaran yang selalu terjadi di antara mereka ketika pertama kali bertemu, menimbulkan rasa nyaman di dalam diri keduanya. Tanpa Kai sadari, ia telah membangun rasa untuk Divas. Sampai akhirnya, sehari sebelum keberangkatan Kai untuk mengikuti Grand Pix berikutnya, ia mengundang Divas untuk menonton pertandingannya kali ini. Walau harus diikuti dengan perselisihan di antara mereka seperti biasa, yang berakhir dengan mereka yang saling mengungkapkan perasaan satu sama lain. Dengan begini, kisah romansa di antara mereka dimulai. “Cuti apa susahnya sih? Kalau emang lo bener-bener nggak bisa datang, bilang cepet pulang kek, atau kesel gitu karena gue harus pergi? Lo… nggak tau lah.” “Nah… gitu dong marah. Gue kesel kok lo tiba-tiba pergi. Gue juga pengen banget cuti. Tapi gue pengen denger alasan lo. Gue pengen tahu sebesar apa keinginan lo untuk ngajak gue ikut sama lo. Karena dengan begitu gue tahu… kalau gue penting buat lo.” Ketika Kai merasa luka lamanya disembuhkan atas kehadiran Divas, hal ini tidak berlaku sama untuknya. Karena Divas telah memendam luka mendalam selama 10 tahun terakhir, semenjak kepergian sang kakak yang sangat ia kagumi, Zacchio. Divas dan sang kakak memiliki hubungan persaudaraan yang sempurna. Mereka sangat akrab dengan satu sama lain, dan sering menghabiskan waktu bersama. Semua kebiasaan yang dilakukan oleh Divas selama ini juga berasal dari Zacchio. Semasa hidup Zacchio, ia sering mengajak Divas ke kolong jembatan Ciputat untuk melukis mural setiap jam 6 sore. Zacchio lebih sering tidur di lantai dibandingkan di kasur kamarnya, ia merasa ada suara-suara dari lantai yang mengantarnya tidur lebih nyenyak. Zacchio selalu mendengarkan Kasih Tak Sampai lewat ipod nano kuno yang diberikan oleh Divas. Serta kegemaran Zacchio terhadap keripik balado buatan sang ibunda, sampai ia pergi pun ibunya tetap membuat keripik tersebut, walau sang ayah serta Divas tidak pernah memakannya. “Pokoknya tiap jam 6 sore, kamu harus nemenin Kakak ya ke sini. Nggak boleh pergi sama temen, nggak boleh ke mana-mana, harus sama kakak. Kalau ada yang nanya, bilang sibuk, oke?” Zacchio wafat di usianya yang menginjak 18 tahun, kanker mastoid, telah ia derita 6 tahun lamanya. Ketika ia memasuki bangku putih abu, Zacchio memutuskan untuk berhenti melakukan pengobatan, menurut dokter penyakitnya sudah tidak bisa disembuhkan. Yang paling naas adalah, Divas sama sekali tidak mengetahui penyakit sang kakak. Ia baru mengetahuinya seminggu sebelum Zacchio wafat. Kematian Zacchio menghancurkan Divas serta keluarganya. Di hari kualifikasi Grand Prix, terjadi kecelakaan besar yang menewaskan salah satu pembalap F1. Hal ini memicu ketakutan dalam diri Divas akan keselamatan Kai. Ia tidak ingin ditinggal oleh orang yang ia sayangi untuk ke sekian kalinya. Divas melarang Kai untuk mengikuti pertandingan di keesokan harinya. Hal ini memicu pertengkaran di antara mereka yang akhirnya Divas kembali ke Jakarta meninggalkan Kai di Singapura. “Lo kenapa jadi begini sih, Vas? Kenapa lo jadi memperumit keadaan? Yang kecelakaan orang lain, bukan gue. Sekarang gue baik-baik aja, apa yang lo takutin?” “Jangan pernah bawa gue masuk ke hidup lo kalau lo masih gampangin ketakutan gue.” Ketika Divas sampai di Jakarta, ia harus dihadapi dengan salah satu pasiennya yang tewas akibat kanker darah. Pasiennya bernama Evan, usianya baru 8 tahun ketika akhirnya meninggal, setelah berjuang melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Divas berusaha menyelamatkan Evan yang kritis, namun kenangan mengenai kematian sang kakak, Zacchio, menyerangnya di tengah-tengah ia bertugas. Divas akhirnya ditarik keluar oleh suster karena dianggap sedang dalam keadaan yang tidak mumpuni. Ditambah dengan seorang pasian yang kerap memprotes karena Evan yang dilayani terlebih dahulu, semakin menambah beban yang dirasakan oleh Divas. Ketika ia mendengar bahwa Evan tidak bisa diselamatkan, dengan kalap ia mengamuk dan tanpa sadar menyerang pasien yang sedari tadi memicu emosinya. “Lagi pula kalau memang sakitnya sudah parah ya sudah, nggak bisa ditolong lagi. Lebih baik tolong orang yang masih punya kesempatan hidup.” “Kalau sakitnya udah parah nggak bisa ditolong lagi anda bilang?! Kenapa mereka nggak boleh ditolong? Kenapa mereka nggak boleh hidup juga!” Hal ini mengakibatkan Divas harus di-terminate dari rumah sakit dan menjalani masa penaltinya. Pradhika, sahabat baik Zacchio, yang sekarang bekerja di tempat yang sama dengan Divas, akhirnya mengajak Divas berbicara. Ia percaya Divas masih memiliki kesedihan yang terpendam semenjak kematian sang kakak. Dhika menyarankan Divas untuk melakukan terapi namun ditolak oleh Divas. Setelah pertandingannya yang berjalan lancar di Singapura, Kai memutuskan untuk rehat dari beberapa pertandingan setelahnya, untuk kembali ke Jakarta dan mencari Divas. Ia mendapat kabar dari adiknya yang juga merupakan seorang dokter, Nima, mengenai tragedi di rumah sakit. Akhirnya Kai berusaha mencari Divas ke rumahnya, rumah sakit, sampai akhirnya ia kembali ke kolong jembatan Ciputat. Ia menemukan Divas sedang mengamati mural-mural di sana. Kai meminta penjelasan atas sikap Divas belakangan hari ini. Namun Divas tak kunjung membuka lukanya ke Kai, ia meinta Kai untuk kembali ke Singapura dan melanjutkan Grand Prixnya. “Luka gue nggak akan pernah bisa disembuhin siapa pun… gue nggak akan pernah bisa sembuh. Jadi, jangan pernah coba. Jangan pernah berusaha sembuhin luka gue, karena itu cuma buang waktu lo.” Setelah mengantar Divas kembali ke rumah, Kai pergi kembali ke rumah sakit untuk bertemu Pradhika. Ia merasa Dhika lebih mengetahui dan mengenal Divas dibandingkan dirinya. Akhirnya ia berhasil mendaptkan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Tentang Divas yang sikapnya selalu berubah-ubah, dan siapa itu Zacchio pencipta mural yang selama ini selalu dikagumi oleh Divas. Keesokan harinya Divas terlibat pertengkaran dengan sang ibunda. Semua dimulai dengan ia yang tak sengaja mendengar sang ibunda yang bercerita ke temannya dan bercerita seakan-akan Zacchio masih hidup. Sesampainya di rumah, Divas tak bisa menahan emosi yang selama ini ditahannya dan berakhir dengan pertengkaran. Di tengah adu mulut tersebut, sang ayah kembali bersama Kai yang baru saja pergi menemaninya ke studio lukis sang ayah. “Kenapa semua orang di rumah ini doyan banget jadi pembohong sih?” Dan semua kejadian itu terputar ulang seperti time lapse dalam waktu beberapa detik. Saat semua orang memiliki waktu lebih banyak dengan kakak gue karena mereka tahu apa yang terjadi padanya, gue baru mengetahui semuanya seminggu sebelum dia pergi. “Kalian hidup tuh kayak nggak ada masalah. Anak kalian itu udah meninggal! Anak kalian udah nggak ada lagi! Dan kalian masih bisa ngomong sama orang lain kalau dia masih ada?! Padahal kalian yang bikin dia mati karena nggak mau ada usaha untuk buat dia hidup lebih lama!” Divas memutuskan untuk pergi dari rumah dan berhasil dikejar oleh Kai. Setelah memutari kota selama beberapa jam akhirnya ia memutuskan untuk membawa Divas pulang ke apartemennya. Ia membiarkan Divas untuk memiliki waktu sendiri. Setelah merasa tenang, Divas mulai membuka dirinya pada Kai. Ia menceritakan perasaannya selama ini setelah kehilangan Zacchio. “Tante Nia dan Om Bhima, mereka berdua cuma maksain diri untuk kuat dan bahagia karena mereka tahu, mereka masih punya lo. Karena lo harus hidup lebih lama. Karena cuma lo yang mereka punya, dan mereka nggak mau kehilangan lo. Dan sekarang, mereka kehilangan lo, Vas.” Berkat Kai, Divas berhasil berdamai dengan masa lalunya. Divas sudah bisa berkunjung ke makam Zacchio. Divas dan keluarganya sudah bisa membicarakan Zacchio dengan tawa bahagia. Divas berhasil menghadapi kesedihan yang selalu ia pendam selama 10 tahun terakhir ini.*** Peresume: Cori Nariswari Mernissi

Leave a comment