Kekuasaan Mestinya Demi Kemaslahatan Rakyat

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup. Semakin besar kekuasaan maka kian besar pula kecenderungan untuk korup. Cuplikan dalil Lord Acton power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely itu, hingga hari ini masih terbukti kebenarannya. Pemilik kekuasaan cenderung menggunakan kekuasaan yang bisa jadi menyalahi aturan. Semakin besar kekuasaan kian besar pula peluang melakukan korupsi. Idealnya, yang memiliki kekuasaan bisa memanfaatkannya untuk kepentingan dan menyejahterakan orang banyak. Semakin besar kekuasaan yang diberikan, akan besar pula berguna untuk menyejahterakan orang banyak. Kenapa? Karena pejabat publik, terutama kepala daerah, sangat terbuka membuat kebijakan publik yang menguntungkan publik dengan dibiayai oleh keuangan negara. Tidak perlu mengeluarkan dana pribadi. Dana disediakan dengan cara yang benar, tanpa korupsi, diperuntukkan bagi rakyatnya. Bukan sebaliknya, karena memiliki kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk kepentingan dirinya sendiri, keluarga, atau kelompoknya. Jangankan seseorang yang memiliki kekuasaan besar, memiliki kekuasaan pada tingkat rendah saja kalau ada niat memanipulasinya, terbuka peluang untuk korupsi. Tanpa bermaksud merendahkan profesi seseorang, ambil contoh profesi sebagai petugas kebersihan. Karena memiliki kekuasaan dan mengelola sabun, pembersih lantai, parfum ruangan, sapu, lap pel, dan sejenisnya, dengan kekuasaannya, bisa saja ia mengorupsi bahan-bahan tersebut. Seseorang yang profesinya membuat dan menyediakan minuman di kantornya. Profil ini memiliki kekuasaan seputar gula, teh, kopi, dan sejenisnya. Level yang terbuka untuk dikorupsi sesuai dengan kekuasaan yang dimiliki, ya sebatas gula, teh, kopi, dan sejenisnya. Bisa dibayangkan setingkat kekuasaan kepala daerah, pejabat eselon satu, dua, pejabat pajak dan bea cukai yang memiliki wewenang yang begitu tinggi. Teranyar, KPK melakukan OTT terhadap beberapa pejabat yang memiliki kekuasaan dan wewenang tetapi mereka menyalahgunakannya, seperti Wali Kota Bandung, Pejabat Direktorat Jenderal Kereta Api, Bupati Kepulauan Meranti – Riau. KPK juga menangani kasus pejabat pajak dan Gubernur Papua. Yang menyesakkan dada, mereka semua memiliki harta yang melimpah, miliaran bahkan puluhan miliar rupiah. Mengapa masih korupsi? Lantas apa penyebabnya? Faktor penyebab korupsi eksternal, salah satunya adalah organisasi tempat koruptor berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan. Adapun faktor internal, sifat serakah/tamak/rakus manusia, gaya hidup konsumtif, dan moralitas yang rendah. Alasan seseorang korupsi bisa beragam, namun secara singkat dikenal Teori GONE untuk menjelaskan faktor penyebab korupsi. GONE, teori lawas yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna, merupakan singkatan dari greedy (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan) dan exposure (pengungkapan). Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor. Keserakahan ditimpali dengan kesempatan, maka akan menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Setelah serakah dan adanya kesempatan, seseorang berisiko melakukan korupsi jika ada gaya hidup yang berlebihan serta pengungkapan atau penindakan atas pelaku yang tidak mampu menimbulkan efek jera. Karena memiliki kekuasaan dan wewenang di organisasinya yang begitu besar, peranan faktor internal akan muncul dan peluang terbuka serta kesempatan ada. Pertama, sifat serakah manusia. Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seseorang selalu tidak merasa cukup, puas atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih. Dengan sifat tamak, seseorang menjadi berlebihan mencintai harta. Padahal bisa jadi hartanya sudah banyak atau jabatannya sudah tinggi. Dominasi sifat tamak membuat seseorang tidak lagi memperhitungkan halal dan haram dalam mencari rezeki. Sifat ini menjadikan korupsi adalah kejahatan yang dilakukan para profesional, pejabat tinggi, dan hidup berkecukupan. Kedua, gaya hidup konsumtif. Sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal korupsi. Gaya hidup konsumtif bisa merambah ke keluarga, anak dan istri. Misalnya, membeli barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor. Ditambah zaman digital diunggah di media sosial. Korupsi bisa terjadi jika seseorang melakukan gaya hidup konsumtif namun tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai. Ketiga, moral yang lemah. Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Aspek moral, misalnya, lemahnya keimanan, kejujuran, atau rasa malu melakukan tindakan korupsi. Jika moral seseorang lemah, maka godaan korupsi yang datang akan sulit ditepis. Godaan korupsi bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukannya. Penyebab Eksternal Pertama, aspek sosial. Kehidupan sosial seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga. Bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka. Justru peranan keluarga sangat strategis. Akan tetapi peranannya justru pamer. Flexing istilah ini memiliki berbagai arti. Namun, dalam konteks sosial dan budaya di media sosial, flexing sebenarnya mengacu pada perilaku seseorang yang memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau kemewahan yang dimilikinya. Timbul persoalan ketika profil pendapatan suami tidak sesuai untuk memenuhi hasrat pamer. Aspek sosial lainnya adalah nilai dan budaya di masyarakat yang mendukung korupsi. Misalnya, masyarakat hanya menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya atau terbiasa memberikan gratifikasi kepada pejabat. Kedua, aspek politik. Ada keyakinan bahwa dengan politik mampu untuk memperoleh keuntungan yang besar, menjadi faktor eksternal penyebab korupsi. Ada konsep “meraih kekuasaan butuh uang, dengan kekuasaan gampang mencari uang”. Tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan politik uang. Dengan money politics, seseorang bisa memenangi kontestasi dengan membeli suara atau menyogok para pemilih atau anggota-anggota partai politiknya. Ini semua membutuhkan uang yang banyak. Hal itu mengingatkan dalih Bupati Kepulauan Meranti yang mengaku mengumpulkan uang untuk modal Pilkada Gubernur Riau 2024. Cara yang paling mudah, cepat gampang, dan instan yaitu menggunakan kekuasaan dan wewenang sebagai bupati. Bahkan konon sampai menjaminkan Kantor Bupati kepada Bank Riau, yang kasusnya sedang didalami oleh KPK. Pejabat yang berkuasa dengan politik uang hanya ingin mendapatkan harta, menggerus kewajiban utamanya yaitu mengabdi kepada rakyat. Melalui perhitungan untung-rugi, pemimpin hasil politik uang tidak akan peduli nasib rakyat yang memilihnya. Bagi mereka, yang terpenting bagaimana ongkos politiknya bisa kembali dan berlipat ganda. Ketiga, aspek hukum. Hukum sebagai faktor penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi. Satu sisi perundang-undangan dan sisi lain lemahnya penegakan hukum. Koruptor akan mencari celah di perundang-undangan untuk bisa melakukan aksinya. Selain itu, penegakan hukum yang tidak bisa menimbulkan efek jera sehingga membuat koruptor kian berani dan korupsi terus terjadi. Pantas kalau UU Perampasan Aset kembali mengemuka, seperti didesakkan oleh Mahfud MD. Melalui UU Perampasan Aset, satu sisi dijaga kepentingan hak-hak masyarakat, di sisi lain kita turut memberikan kewenangan kepada negara untuk merampas aset ilegal. Nantinya, bunyi UU Perampasan Aset sama dengan putusan pengadilan. Jadi, tinggal mengeksekusi walau tetap harus ada proses. Ini perlu keseimbangan perlindungan kepada aset masyarakat dan keleluasaan negara merampas aset hasil tindak pidana. Hukum menjadi faktor penyebab korupsi jika banyak produk hukum yang tidak jelas aturannya, pasal-pasalnya multitafsir, dan ada kecenderungan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sanksi yang tidak sebanding terhadap pelaku korupsi, terlalu ringan atau tidak tepat sasaran, juga membuat para pelaku korupsi tidak segan-segan menilap uang negara. Keempat, aspek ekonomi. Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi. Di antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Fakta empirik menunjukkan bahwa korupsi tidak dilakukan oleh mereka yang gajinya pas-pasan. Korupsi dalam jumlah besar justru dilakukan oleh orang-orang kaya dan berpendidikan tinggi. Jadi, tidak ada jaminan pendapatan besar dan harta melimpah, mereka tidak korupsi. Kelima, aspek organisasi. Organisasi tempat koruptor berada. Biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi karena membuka peluang atau kesempatan. Misalnya, tidak adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen. Oleh karena itu, pejabat publik harus mendapat tekanan publik, masyarakat sipil, dan pegiat antikorupsi. Pencegahan korupsi secara sistematis, terstruktur, dan masif masih harus digalakkan. Karena, jabatan publik beserta kekuasaan yang melekat di dalamnya, memang harus digunakan untuk kemaslahatan rakyat. *) Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, adalah pengamat kebijakan publik

Leave a comment