Lenggak Lenggok Barongsai Menelusuri Waktu:Mengenal Paduan Seni Tionghoa yang Sempat Dilarang di Masa Soeharto

11 November 2022 15:37 WIB
Ilustrasi

Insidepontianak.com - Anak-anak akan senang bila diajak untuk menonton pertunjukan Barongsai, acara ini biasanya bisa kita temui saat perayaan Imlek (tahun baru China).

Pertunjukan Barongsai mampu membuat terpukau penonton dengan berbagai macam aksi, melompat, berguling-guling, bahkan adegan salto.

Adegan-adegan Barongsai sangat jarang bisa dilakukan bagi yang non profesional, ini juga menjadi kunci tersendiri untuk menarik orang agar menyaksikannya.

Baca Juga: Meneropong Fenomena Wibu di Indonesia: Akulturasi Budaya hingga Punya Efek Ekonomi Lokal

Kostum standard Barongsai biasanya hanya memuat dua orang, satu untuk mengendalikan kepala, orang ke dua menjadi badan atau ekornya.

Gerakan Barongsai harus sama untuk memperoleh nilai sempurna, sambil diiringi musik mereka akan berlenggak-lenggok.

Sedangkan komando untuk memerintahkan Barongsai beratraksi bukan datang dari orang yang memegang kepala, tapi iringan musik yang menentukannya.

Semakin cepat tabuhan musik, Barongsai akan menambah kecepatan geraknya.

Tapi siapa sangka kalau pertunjukan Barongsai pernah dilarang selama kepemimpinan Soeharto.

Pada tahun 1967 pemerintah Orde Baru (Orba) melarang segala aktifitas kebudayaan china tampil di depan umum, tulis Erwin Wijaya dalam 'Barongsai Sebagai Pertunjukan Komunikasi Budaya Etnis Tionghoa' (2014).

Selama masa Soeharto memimpin Indonesia, etnis Tionghoa selalu mendapatkan perlakuan diskriminasi.

Segala aktifitas terkait kebudayaan atau ritual keagamaan dilarang untuk dilakukan di depan umum, hal ini terkandung dalam Dekrit Presiden No. 14 Tahun 1967.

Setelah Gus Dur naik tahta untuk memimpin Indonesia, pasca peristiwa reformasi, dia membatalkan Dekrit Presiden tahun 1967 tersebut dengan menerbitkan Dekrit Presiden No. 6 Tahun 2000.

Dalam dekrit yang baru itu segala hal yang berbau dengan etnis Tionghoa diperbolehkan dilakukan didepan umum.

Semenjak itu pertunjukan Barongsai kembali berani untuk tampil di publik secara terbuka.

Kata Barongsai sendiri merupakan serapan dari bahasa Jawa, terdiri dari dua kalimat 'Barong' yang berarti singa dan 'Say' juga mempunyai makna sama yaitu singa.

Sedangkan dalam kebudayaan Cina, Barongsai dikenal dengan 'Samsie/Samsu'. Pertunjukan ini didedikasikan kepada Tuhan yang menjelma di bumi menyerupai singa.

Orang Cina sangat menghormati permainan Barongsai, mereka beranggapan bahwa dalam pertunjukan singa ini para pemain sedang menyembah kepada Tuhan Singa.

Hal ini bisa diketahui para penonton menggenggam kedua telapak tangan mereka saat menyaksikan Barongsai.

Dalam kebudayaan Cina, mereka menyebutnya Pie (menyembah dengan cara menggenggam tangan erat-erat) , tulis Antoni, Riyadi, dan Najamuddin dalam penelitiannya yang berjudul 'Barongsai as a Strengthening Tool to Reach Harmonious Multiculturalism' (2018).

Dalam kepercayaan China, Barongsai harus tampil dengan Liong (naga), Liong biasanya dimainkan oleh puluhan orang karena kostumnya sepanjang 18 meter.

Baca Juga: Mengenal Ludruk di Jawa Timur: Budaya 'Kritik Di Tengah Pusaran 3 Narasi

Kedua hewan itu menurut orang China, dan Tionghoa (Cina Peranakan), melambangkan keseimbangan hidup.

Barongsai (singa) merepresentasikan energi Yin/betina (negatif) dan Liong Yang/jantan (positif).

Melalui perkembangan jaman, kini Barongsai tidak hanya dimainkan oleh komunitas China Peranakan saja, banyak warga pribumi juga meniru pertunjukan mereka tidak sama persis baik kostum atau acaranya.

Di komunitas Cina Peranakan sendiri, pertunjukan Barongsai biasanya bisa ditemui saat ada acara pernikahan, peresmian kantor, atau pengangkatan jabatan. ***

Tags :

Leave a comment