Pesan Politik dan Kebudayaan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar
Yang Terhormat Bapak Gubernur dan Bapak Wakil Gubernur Kalimantan Barat, perkenankan saya menyampaikan seuntai pesan politik dan kebudayaan, bukan sebagai pesan kosong, bukan pula sebagai pembela salah satu pihak, tetapi sebagai panggilan moral bagi dua pemimpin yang kini menjadi pusat perhatian publik.
Masyarakat Kalbar – dari pedalaman hingga pesisir, dari Pontianak hingga perbatasan– sedang memandang Anda berdua. Dan mereka menuggu dengan cemas dan gelisah.
Perselisihan yang kini berlangsung di ruang publik, terlebih melalui media sosial, telah menjadi percakapan luas yang tak hanya menggetarkan arena politik, tetapi juga menyentuh ranah identitas dan kebudayaan masyarakat Kalbar.
Di provinsi multietnis seperti Kalbar, di mana ingatan kolektif atas konflik lama masih membekas, riak kecil di tingkat elite sering kali menjelma gelombang besar di bawah.
Oleh karena itu, izinkan saya menyampaikan tiga pesan inti—pesan yang bersumber dari pengalaman sejarah, kearifan lokal, dan etika kepemimpinan.
Kalbar Rumah Bersama
Kalimantan Barat adalah mosaik etnis: Dayak, Melayu, Bugis, Tionghoa, Jawa, dan banyak lainnya.
Di wilayah seperti ini, harmoni adalah modal paling berharga. Ia bukan hadiah, tapi kerja terus-menerus.
Ketika dua pemimpin tertinggi daerah berselisih secara terbuka, publik tidak membacanya sebagai masalah individu; mereka membacanya sebagai pertentangan simbolik antarrepresentasi sosial.
Inilah yang membuat perselisihan di media sosial jauh lebih berbahaya daripada perbedaan dalam rapat tertutup.
Dalam budaya Kalbar, kata-kata pemimpin bukan sekadar teks; ia petanda. Ia bisa menjadi pendingin suasana, atau justru pemantik panas.
Maka, gunakanlah setiap pernyataan dengan bijak. Jangan biarkan masyarakat mengira bahwa perseteruan elite adalah alasan baru untuk mencurigai sesama warga.
Pontianak Cermin Politik
Pontianak bukan hanya pusat pemerintahan; ia pusat memori, pusat pertemuan, dan pusat persebaran pengaruh.
Apa pun yang terjadi di puncak kekuasaan akan tercecer ke kota ini sebagai percakapan, rumor, atau ketegangan sosial.
Bapak Gubernur dan Bapak Wakil Gubernur, Pontianak telah terlalu sering menjadi ruang ‘menghimpun gejolak’ ketika politik di atas tidak stabil.
Kita tidak boleh kembali ke pola itu. Setiap gesekan elite di ibu kota provinsi memberi pesan ganda: apakah kita sedang mempersiapkan masa depan yang matang, atau membuka kembali luka lama yang seharusnya telah ditutup rapat? Pontianak membutuhkan ketenangan, bukan ketegangan; stabilitas, bukan simbol konflik.
Belajar dari Sejarah
Sejarah sosial politik Kalbar menunjukkan bahwa ketidakselarasan elite di atas sering kali berdampak jauh ke bawah.
Kita pernah menyaksikan bagaimana isu-isu identitas yang seharusnya bisa diredam justru membesar karena absennya keteladanan elite.
Masyarakat Kalbar sudah terlalu banyak belajar dari masa lalu: konflik tidak menguntungkan siapa pun.
Maka peran pemimpin saat ini bukan hanya menghindari konflik, tetapi menghindari kesan bahwa konflik itu ada. Karena dalam masyarakat multietnis, persepsi sering lebih kuat daripada fakta.
Pemipin yang Besar Meredam Ego
Dalam budaya Dayak, Melayu, dan Tionghoa—tiga tiang identitas terbesar di Kalbar—nilai yang dijunjung tinggi adalah keselarasan.
Orang Dayak menyebutnya hurai, Melayu menyebutnya muafakat, Tionghoa menyebutnya he. Semuanya mengarah pada satu pesan: “Kekuasaan ada guna untuk menenteramkan, bukan menegangkan.”
Menjadi pemimpin bukan tentang siapa yang lebih benar, tetapi siapa yang lebih mampu menahan diri demi rakyat.
Bapak berdua telah terpilih sebagai simbol, bukan hanya sebagai pejabat. Dalam tradisi kepemimpinan Nusantara, pemimpin besar adalah pemimpin yang paling dulu meredam ego, karena ego pemimpin dapat menjadi gelombang di masyarakat.
Politik Rekonsiliasi
Masyarakat Kalbar tidak menuntut Anda berdua untuk menjadi sahabat. Yang mereka harapkan hanyalah; komunikasi yang elegan, perbedaan yang dikelola secara dewasa, dan keharmonisan simbolik untuk menjaga kesejukan Kalbar. Bertemulah secara privat. Dengarkan satu sama lain.
Ingat, bahwa jabatan adalah sementara, tetapi dampak kebijakan dan jejak sosial akan dikenang lebih lama daripada masa kerja. Rekonsiliasi bukan kelemahan; ia adalah strategi kepemimpinan yang dewasa.
Di tengah derasnya politik nasional yang sering gaduh, Kalbar bisa menjadi contoh bahwa perbedaan dapat dikelola tanpa saling merendahkan, bahwa pemimpin bisa menunjukkan ketenangan di tengah tekanan, dan bahwa etika publik masih memiliki tempat di ruang politik.
Pemimpin yang mampu meredam diri di saat publik sedang menonton—itulah pemimpin yang akan dikenang dengan hormat.
Pesan Kedamaian
Bapak Gubernur dan Bapak Wakil Gubernur yang saya hormati, Kalbar membutuhkan Anda berdua bersikap lebih besar dari persoalan pribadi, lebih dalam dari gesekan kepentingan, dan lebih bijak dari amarah sesaat.
Masyarakat menunggu bukan siapa yang menang, tetapi siapa yang menenangkan. Pontianak menunggu, Kalbar menunggu, Dan sejarah akan menjadi saksi, apakah Anda berdua memilih jalan perpecahan atau jalan kebesaran. Semoga kebijaksanaan unggul dari ego, demi Kalimantan Barat sebagai rumah bersama.
Penulis : Syarif Usmulyadi, Dosen Senior Fisip Untan/Opini
Editor : Abdul Halikurrahman
Tags :

Leave a comment