Iptu Inayatun, Penyidik Perempuan Emban Misi hingga ke PBB

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Bangui, Afrika Tengah 2021 Deru mobil memecah keheningan malam. Suara bising menyeruak dalam sunyi. Jalanan sempit tampak lengang. Padang ilalang tumbuh subur di kiri kanan jalan yang berkelok. Kontras dengan pekat malam hari itu. Sepi, tandus dan lapang. Seperti tak berpenghuni. Tiba-tiba.Arrêter” teriak seorang pria dalam bahasa Prancis. Artinya berhenti. Senjata laras panjangnya mengacung ke arah depan. Lampu sorot di bawah dada pria itu menyilaukan mata. Suasana tegang Dari arah depan, sejumlah pria berseragam keluar dari mobil jenis tank panser. Di lambung tank tampak tulisan UN besar berwarna hitam. Mereka juga siaga dengan AK-47 mengarah ke asal suara. “Arrêter” sekali lagi terdengar. Kali ini, tak hanya satu senjata tapi belasan senjata mengarah ke pasukan yang diketahui berasal dari pasukan perdamaian di bawah United Nation (UN). Tampak perempuan ramping di sisi tank. Namanya Iptu. Inayatun Nurhasanah. Dengan posisi siaga, lantas berbisik ringan di telinga pria besar di sebalahnya. “Mereka meminta berhenti komandan” kata wanita itu. “Tahan” jawab sang komandan. Tak lama, terjadi negosiasi. Cukup alot. Usut punya usut, para pencegat merupakan tentara Bangui yang berpatroli malam itu. Kesalahpahaman diselesaikan. Pasukan UN yang kala itu tengah mengawal utusan PBB melanjutkan perjalanan. Kajadian ini bukan baru pertama. Inayatun menganggap hal biasa dalam tugas sebagai pasukan perdamaian di bawah kontingen Garuda di daerah misi. ‘Pertarungan’ dan Perempuan di Daerah Misi Inayatun Nurhasanah adalah salah satu dari enam perempuan yang mengemban tugas polisi perdamaian di Afrika Tengah. Tepatnya Bangui. Bangui adalah wilayah federal (atau komuni) satu-satunya di Republik Afrika Tengah dan merupakan ibu kota sekaligus kota terbesar di Republik Afrika Tengah. Penduduknya berjumlah 531.783 jiwa di tahun 2003. Kota ini didirikan pada tahun 1889. Penduduk utama Republik Afrika Tengah sebagian tinggal di bagian barat negara itu, tepatnya di Bangui. [caption id="attachment_28344" align="alignnone" width="994"]Iptu Inayatun, Penyidik Perempuan bersenjata lengkap saat misi PBB/pribadi Iptu Inayatun, Penyidik Perempuan bersenjata lengkap saat misi PBB/pribadi[/caption] Kota ini merupakan pusat ekonomi Republik Afrika Tengah. Memiliki luas wilayah 67 km2. Sejak 4 September 2020 lalu, Ina dan 140 polisi seluruh Polda se-Indonesia terjun dalam misi perdamaian UN atau PBB. Mereka di bawah naungan Formed Police Unit (FPU) UNAMID. FPU adalah Satuan Tugas Garuda Bhayangkara membawa misi perdamaian PBB. Di tahun 2020 ini, FPU ditugaskan di daerah Bangui, Centre Afrika atau Afrika Tengah. Ia perempuan satu-satunya dari Polda Kalbar yang lolos untuk ikut dalam misi perdamaian. Kak Ina biasa ia disapa. Sosoknya tinggi. Ramping. Sekitar 172 cm. Tegap. Postur tangguh. Siapa yang menyangka Ina ternyata seorang Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di Polresta Pontianak. Ia seorang Perwira polisi. Iptu pangkatnya. Bagi Ina, bukan masalah perempuan terlibat dalam urusan perdamaian dunia. Perempuan bisa ikut andil dalam urusan kemanusiaan. Tangguh menjadi kuncinya jika ingin masuk dalam jajaran polisi perdamaian. Tak masalah jika itu perempuan. “Kuncinya niat, dan tangguh. Bukan tangguh badan kekar tapi disiplin, komitmen dan pantang menyerah,” kata Ina di sela wawancaranya usai pulang menunaikan misi PBB. Belajar dari Misi PBB Selama 1 tahun 7 hari, ia bertugas sebagai polisi perdamaian dunia dengan bendera pasukan Garuda. Banyak cerita dan kisah di benua hitam itu. Ina menyukai tantangan. Baginya, tak masalah bertugas jauh dari keluarga dan tanah air. Selama ia bisa belajar, dan mendapat restu orang tercinta, pastinya ia akan pergi. [caption id="attachment_28345" align="alignnone" width="700"]Inayatun, belajar banyak dari misi PBB karena banyak bertemu polisi dari berbagai negara lainnya/pribadi Inayatun, belajar banyak dari misi PBB karena banyak bertemu polisi dari berbagai negara lainnya/pribadi[/caption] Tak hanya belajar mengenai polisi di daerah misi, kepergiannya terlibat dalam misi PBB ini sekaligus mencari pengalaman baru dan mimpi besarnya. Selain sebagai penjaga perdamaian, Ina juga ditunjuk sebagai vokal point SEA. SEA adalah Sexual Exploitation And Abuse. Berada di bawah FPU PBB. Tugasnya, mengingatkan dan mensosialisasikan resiko bagi petugas perdamaian untuk tak terlibat pelecehan. Terutama di pasukan Garuda. “Sanksi berat bagi petugas yang melanggar. Bisa dipulangkan. Pulang pun di sidang di negaranya dengan pasal tindak pidana. Berat hukumannya. Maka, saya hadir mengingatkan rekan-rekan di Garuda Camp untuk tak terlibat apapun. Baik dengan sesama petugas, maupun penduduk asli di sana,” ucapnya. Sebanyak 140 polisi perdamaian asal Indonesia bukan tanpa kualifikasi. Mereka adalah polisi terlatih dan punya spesialisasi masing-masing. Untuk lolos seleksi, butuh tahapan ketat dan latihan sulit. “Ketika saya mendaftar, tak mudah. Apalagi perempuan. Tapi, saya optimis. Saya mampu dan bisa. Setelah lolos, latihan ekstra berat kami lakukan. Begitu juga saat pra deployment (pelatihan penguatan materi dan hal teknis). Persiapan cukup lama hingga kami berangkat ke daerah misi,” paparnya. Para polisi perdamaian ini bahu membahu selama misi. Ina dan mereka adalah tim. Satu kesatuan. Kekompakan menjadi pelajaran hal jika ingin sukses dalam misi. Sosialisasi dengan para penjaga keamanan negara lain kerap dilakukan Ina dan tim. Tukar pendapat, ilmu dan untuk melihat sejauh mana negara lain dalam misi mereka. Tugas rutin Ina dan tim adalah piket patroli. Setiap camp yang terdiri dari belasan negara, punya jadwal patroli keliling kawasan yang diatur FPU. Tak hanya itu, para polisi perdamaian ini juga harus mengawal dan menjaga para tamu PBB yang datang ke daerah misi. Mengingat daerah Afrika rawan konflik, baik perampokan dan konfrontasi penduduk hingga tentara setempat. Tak terkecuali, pasukan Garuda. Sekali lagi, Ina sangat terinspirasi para polisi perdamaian dunia. Sangat tertantang. Bahkan, ia kerap terlibat patroli bersama tim. Tak ada yang menyangka, Ina bisa mencapai mimpinya. Ia yang dulu ragu-ragu malah bisa menginpirasi banyak perempuan. “Ya tak menyangka, padahal waktu kecil masih bingung mau ke mana,” ucap Ina. Mengenal Iptu Ina dari Bangku Sekolah Ina bukan wajah baru di kepolisan Kota Pontianak. Wanita kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah. Tepatnya, 2 Juni tahun 1976 ini berkecimpung dalam penyidikan banyak kasus. Ina menghabiskan masa kecil di Desa Tipar, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Tengah. Era 90an saat masih SMP ia masuk sekolah negeri dengan jarak cukup jauh dari rumahnya. Sekitar 7 km. SMPN 1 Jatilawang, sekolahnya saat itu. Ia ingat betul. Saat itu di desanya tak ada sekolah negeri. Hanya ada di daerah lain. Untuk bisa sekolah di sana, selain NEM harus tinggi, jarak tempuh pun jauh. “Karena tak ada SMP negeri, jadi mau tak mau harus kerja keras dari SD. Biar nilai bagus dan bisa masuk. Dan akhirnya tercapai,” kata Ina. Tahun itu, tahun 1992. Akses masih minim, tak ada kendaraan masuk kampung. “Jadi pakai sepeda,” sambungnya. Di SMA pun ia memilih sekolah tak biasa kala itu. SMEA N 1 Cilacap. Orangtua Ina, Bajri Ilyas dan Sumilah mendukung penuh keputusan sang anak. Begitu pula saat mengikuti seleksi polisi wanita (Polwan). Kedua orangtuanya sekali lagi, setuju. Jadi Polwan, Antara Cita-cita Keterpaksaan Usianya baru 17 tahun. Kelas 3 SMEA waktu itu. Tapi, ia memilih mendaftar menjadi Polwan. Tak tanggung-tanggung, ia memilih Kota Pontianak sebagai tempat mendaftar. Kebetulan sang abang, Sakirun sudah jadi polisi lalu lintas di kota itu. Keputusan bulat. Ia pun berangkat menuju Pontianak. Naik kapal laut. Diantar sang ayah, Ina pun menjemput mimpi. Merantau bukan jadi pilihan. Polwan bagi Ina seperti harapan, cita-cita dan keterpaksaan. Keterpaksaan meninggalkan kedua orangtuanya. Ia masih remaja. Masih butuh bimbingan orangtua. Sedih pasti, tapi Ina sadar ini bagian dari konsekuensi jika ingin memulai hal baru di daerah baru. “Jika ditanya mau jadi apa. Saya pasti jawab guru dan Polwan. Karena saya sembilan saudara. Saya anak ketujuh. Banyak saudara jadi guru, dan polisi. Mungkin antara cita-cita dan keadaan keluarga saat itu,” ujar Ina. Ia lulus seleksi Polwan. Selama 11 bulan ia mendapat gemblengan dan latihan sebagai Polwan angkatan baru. Karirnya pun terus berkembang. Hingga ia mendapat pendidikan Perwira. Ia ditempatkan di unit PPA. Bukan hanya ia perempuan, tapi Ina melihat persoalan perempuan dan anak perlu penanganan ekstra. Ina banyak belajar dari sana. Melihat kasus yang dipicu masalah sepele. Tapi, imbasnya besar. Itu makin membuat miris. Mengawal Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak Tak lama Ina naik jabatan. Ia ditunjuk sebagai Kepala Unit (Kanit) PPA Kapolresta. Dari situ, ia makin banyak berkutat dalam kasus perempuan dan anak. Dari kasus pelecehan, pencabulan, prostitusi hingga pembunuhan yang melibatkan dua kasus ini. Tugasnya tak semata-meta mendampingi para korban, tapi mengawal hingga persoalan itu tuntas. Mendapatkan pendampingan dan bimbingan agar trauma kasus bisa dikikis. Terutama, jika melibatkan anak di bawah umur. Sebagai penyidik perempuan, Ina tak menghindari jika banyak kasus melibatkan hati. Sebagai seorang ibu, ia paham betul bagaimana kasus yang melibatakan anak merusak mental jika tak ditangani secara benar. “Perempuan dan anak itu punya trauma psikis. Jadi, penanganan berbeda dengan kasus lain,” ucapnya. Nama Ina makin dikenal publik. Kasus kekerasan pelajar Audrey penyebabnya. Kasus itu membuat Ina dan rekan-rekannya tak tidur dan pusing. Kasus itu sempat booming di awal 2019. Bukan kasus berat tapi viralnya ke mana-mana. Bagi Ina, itu bukan kasus tersulit dan terparah yang ia tangani. Bahkan, ia mengaggap kasus Audrey itu ringan dan hanya salah paham. Kasus terberat yang ia tangani adalah kasus pembunuhan dua anak oleh orangtuanya. “Ada anak dibanting ayahnya di Sungai Kakap. Kepalanya dihempas ke dinding. Satu lagi kasus anak balita yang dipukul, diinjak pakai bantal hingga pingsan dan meninggal tak sadar. Dua kasus itu paling melekat, ketimbang kasus Audrey yang viral kala itu,” terangnya. Bagi Ina, menjadi Polwan adalah jembatan meraih cita-cita dan mimpi besarnya. Mengabdi untuk negara. Dengan segala kemampuan dan keterbatasannya sejauh ini. Dari mulai bukan siapa-siapa, hanya polisi biasa hingga bisa dipercaya mengemban misi ke PBB. Ini akan jadi torehan kisah Inayatun Nurhasanah selama karirnya. Begitu juga menjadi penyidik kasus perempuan dan anak. Ini misi besarnya. Memberikan rasa aman dan nyaman bagi korban. Ina sadar, menjadi pendengar dan mengawal kasus hingga tuntas akan menjawab rasa keadilan mereka. Ini bukan mimpi, tapi ini perjuangan Ina berikutnya. Kasus masih terus ada, begitu juga Ina pun harus terus ada untuk mereka. Perempuan dan anak.***  

Leave a comment