Medsos, Kemajuan TI dan Keruntuhan Privasi di Jagat Maya

3 Maret 2024 09:28 WIB
Ilustrasi
JAKARTA, insidepontianak.com - Maraknya kehidupan di media sosial dalam satu dekade terakhir telah meruntuhkan ruang privasi para penggunanya. Isu-isu tabu yang tak sepantasnya ditampilkan ke ruang publik menjadi sebegitu bebasnya diumbar. Medsos seolah menjadi dunia antah berantah yang tak memiliki pranata tata krama. Segalanya bisa diumbar, mulai dari harta benda, urusan ranjang, hingga masalah agama orang diulik dan dikuliti secara berjamaah. Dan ironisnya, media hiburan malah ikut meramaikan pergunjingan di medsos menjadi asupan pemberitaan yang menghiasi laman lini masanya. Kerja KPK bahkan “diambil alih” oleh para investigator yang bergentayangan di dunia maya. Dengan semangat julidnya, mereka menelisik harta benda dan sumber kekayaan figur yang tengah populer. Seperti judul berita “Pantas punya hunian mewah, pekerjaan ayah AA terungkap”; “Ini profil dan biodata AD, pacar bule NM”. Sebelum itu, NM diberitakan bangkrut hingga tak memiliki pesawat televisi di rumahnya. Sementara itu artis VM juga diulas mengenai pekerjaan dan harta kekayaannya, sedangkan suaminya FI dikuliti, mulai dari pengangguran, tak memiliki apa-apa, tingkat libidonya tinggi, hingga menggauli istrinya tiap hari. Selain menelanjangi kekurangan orang lain, tak lupa pula dibumbui dengan komparasi, membanding-bandingkan “mantan” dengan yang “sekarang”. Dengan semangat memecah-belah, mereka memuji yang satu dan mencela yang lain. Aksi tanpa empati, tak peduli meski ada hati yang tersakiti dan relasi korban rusak karenanya. Di luar perkara harta benda dan urusan ranjang, diselidiki juga apa sebenarnya agama seseorang. Masih ingat penyanyi cilik yang viral karena menyanyi di Istana Negara saat peringatan Hari Kemerdekaan tahun lalu? Dalam suatu kesempatan di panggung ia ditanya mengenai agama yang dianutnya dan bocah itu menjawab bahwa itu privasi. Tak lama setelah itu, berminggu-minggu pemberitaan mengenai dirinya diarahkan pada “penyelidikan” apa sesungguhnya agama si FP itu. Ketika FP tidak mau mengaku apa agamanya, jurus berikutnya adalah menanyai asisten, anggota keluarga dan para tetangganya. Pada bagian lain ada penyanyi LK yang biasa berjilbab, tapi dalam satu momen acara keluarga dia melepas jilbabnya. Sontak, warganet dan media hiburan seperti mendapat pasokan bahan ghibah. Lantas dibahas terus-menerus seraya mempertanyakan mengapa artis itu melepas jilbabnya, dipertajam dengan komentar dan penilaian yang bersifat menghakimi bahwa LK dianggap tidak istikamah dalam berhijab. Contoh-contoh di atas menggambarkan betapa warganet berikut media hiburan telah masuk sebegitu jauhnya ke ranah privasi seseorang. Dan karena berita gosip yang disajikan itu dinilai tidak mendidik publik, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers menyatakan bahwa berita infotainment (hiburan) tidak termasuk dalam karya atau produk jurnalistik. Begitupun orang yang bekerja mencari berita gosip tersebut tidak bisa disebut sebagai wartawan. Sedangkan ormas Nahdlatul Ulama (NU) mengategorikan berita infotainment sebagai ghibah yang haram hukumnya. Mengulik kehidupan pribadi orang lain, dengan memuji atau menjatuhkan secara berlebihan, menjadi keseharian wajah medsos dan media hiburan. Bahkan, seakan menggantikan peran Tuhan, mereka menghakimi kesalahan manusia lain, seperti masalah agama dan bagaimana orang menerapkan ajaran di dalamnya, adalah urusan manusia dengan Tuhannya. Benar atau salah, penilaiannya, mutlak merupakan otoritas Tuhan. Mencari Rezeki dari Membuat Sensasi Ada sebagian selebritas yang malah mengambil untung dari berita-berita miring tentangnya. Alih-alih protes, ia malah sengaja memberi umpan masalah agar memantik pemberitaan. Bila karirnya mulai redup, dia akan membuat sensasi agar namanya kembali mengemuka dan tawaran pekerjaanpun berdatangan. Rupanya, ada, bahkan banyak, orang yang mencari rezeki dengan cara melakukan sensasi, meski salah satunya dengan mengumbar aib diri sendiri. Virginia Sturm, ilmuwan dari University of California, AS, mengungkapkan bahwa bagian otak di sebelah kanan depan yang disebut pregenual anterior cingulate cortex adalah pusat rasa malu. Berdasarkan temuan itu, orang yang tidak memiliki rasa malu, kemungkinan kondisi bagian otak kanan depannya kecil. Ada yang gemar mengumbar aib di satu pihak, dan ada pihak lain yang menikmati itu sebagai bagian proses isi ulang energi. Jangan salah, ada jenis orang yang re-charge energinya dengan ber-ghibah. Kegiatan ghibah bisa membuat hidupnya makin bergairah. Maka banyaknya selebritas di media sosial yang pamer kehidupan pribadi menjadi santapan lezat bagi para penguntit (stalker) dan pecandu gosip. Bertolak belakang dari seleb yang narsis di medsos, adapula sejumlah figur publik yang memilih mundur dari media sosial. Terganggunya kehidupan pribadi rerata menjadi alasan utama. Rasa selalu dikuntit dan diulik ranah privasi membuat mereka risih, seperti penyanyi pop AS Selena Gomez yang memilih menjauhi internet dan media sosial karena ia merasa betapa medsos itu mengerikan, orang bisa hancur karena perundungan. Gomez mengaku lebih sehat secara mental ketika dia menjaga jarak dari medsos. Sementara di Tanah Air, aktor Reza Rahadian bukan hanya tidak bermain medsos. Pemeran Habibie dalam film “Habibie dan Ainun” itu, bahkan tidak memiliki akun medsos karena tidak tertarik untuk membuat dan terlibat di dalamnya. Bagi Reza, menulis catatan lebih menarik daripada membagikan uneg-uneg kepada khalayak di dunia maya. Dengan alasan ingin kembali ke kehidupan nyata tanpa memikirkan orang lain, presenter Sarah Sechan pernah menyatakan berhenti bermain media sosial. Begitulah media sosial, seperti lautan yang menghasilkan buih berserakan. Semua orang bisa berkomentar, dengan atau tanpa pengetahuan yang memadai, mengenai apa yang ditanggapi. Budaya literasi yang rendah telah memperparah kegaduhan di medsos, bak riak sungai dangkal. Media sosial sebagai sebuah penemuan dan penanda kemajuan di bidang teknologi informasi yang telah mengubah dunia dalam pola pergaulan, tentu saja tidak dapat disalahkan atas apa yang dilakukan para penggunanya. Karena nyatanya, di tangan profesional, medsos bisa menjadi wahana interaksi yang produktif. Karena itu, pengunggah dan konsumen unggahan di medsos harus pandai memilah, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak.(Antara)***

Leave a comment