Lelucon yang Indah Muncul dari Tragedi, Yuk Intip Dunia Asli Komedi

5 November 2022 22:15 WIB
Ilustrasi

PONTIANAK, insidepontianak.com - Bila seseorang sedang gundah, cemas, bahkan merasa tidak semangat, stop dulu beraktivitas, tontonlah komedi. Pertunjukan yang mengandung unsur lelucon ini bikin pikiran jadi rileks.

Sama halnya dengan kesenian, komedi tidak bisa diatur dengan dunia keseriusan.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan entitas lelucon yang dibawakan komedi pelawak, juga pertunjukan untuk mengguncang perut ini memang tidak pantas bagi orang sensi.

Dilansir dari Lapham's Quarterly, dunia komedi adalah kumpulan kesengsaraan dan tragedi yang tidak bisa dibendung lagi.

Dua kemungkinan yang akan timbul ketika seseorang tidak bisa menahan diskriminasi, intimidatif, dan represi. Yang pertama, dia akan menjadi gila. Kemungkinan ke dua akan menjadi komedian.

Kita pun bisa menilai seorang komedian yang jenius bisa kita lihat dari bahan yang dibawakannya di depan kita. Semakin nyata isi lelucon itu, semakin kita terbahak-terbahak mendengarkannya.

Tapi pertanyaannya adalah, kenapa bisa begitu? Sebelum menjawabnya, yuk kita intip dulu sekilas biografi singkat dari dua tokoh komedi internasional yang terkenal pada masanya.

Baca Juga: Waktu Netflix Indonesia, Suguhkan Tujuh Film Genre Otentik, Cerita Komedi hingga Drama

Komedian yang mayshur pada awal abad ke-20 ialah Charlie Chaplin. Pelawak Internasional ini mampu menggelitik perut hanya dengan tingkahnya yang unik, maklum pada waktu itu teknologi yang bisa merekam audio dan visual tidak ada. Dunia pertelevisian di abad 20-an hanya menampilkan visual gerak.

Walaupun pertunjukannya berorientasi komedi visual gerak, Chaplin sangatlah digemari oleh banyak orang. Namun siapa sangka di balik komedinya yang lucu, dia menyimpan kehidupan yang keputusasaan, kesengsaraan mental, dan hidup tragis.

"Ada waktu dalam beberapa hari, ketika saya berkontak dengan manusia saya meraskan diriku sakit," ungkapnya ke Benjamin De Cesarres.

Dia pun menjabarkan rasa sakit itu dengan tekanan yang hampir tidak bisa dibendung lagi.

"Saya sangat tertekan pada waktu tertentu dengan apa yang telah dikenal dengan dunia romantisme, yaitu dunia kecemasan. Kemudian saya merasa asing tentang kehidupan," imbuhnya.

Baca Juga: Persatuan Seniman Komedi Indonesia Terima Bantuan Masker dari BNPB

Sedangkan di benua Eropa, tepatnya di Inggris pada abad 18 M, mungkin sudah masyhur di telinga kita tentang kehidupan Joseph Grimaldi. Dia mendapati dirinya meninggal dengan kemiskinan dan overdosis.

Pada masa hidupnya, Grimaldi merupakan komedian yang berperan sebagai badut. Dia bahkan mendapatkan untung besar dari hasil pementasannya pada tahun 1806, di Theatre Royal, Covant Garden. Dia mengalami depresi di penghujung hayatnya.

Komedi yang dikenal umum sebagai hiburan pelepas penat bagi yang menyaksikan dia sedang melawak, ternyata di dalam dunia lelucon ini terkandung kehidupan menyeramkan.

Sigmund Freud, di dalam bukunya yang berjudul 'Jokes and Their Relations to The Unconsious', mengatakan "Lelucon Mengkhianati Keseriusan."

Maksud dari perkataannya mengenai dunia komedi adalah wahana untuk mengeksplor hal yang dianggap tabu oleh sosial, mengemas ide-ide yang dipandang negatif oleh khalayak umun, namun kemudian disulap menjadi candaan.

Freud menolak keras pandangan orang yang menangkap lelucon dari panggung komedi sebagai kenyataan tekstual. Bila kita ingin mengetahui pertunjukan penuh tawa yang sebenarnya, maka bisa ditemukan dengan pandangan kontekstual. Dikarenakan, pesan yang ditangkap dari show tersebut penuh dengan satir.

Memang benar jikalau kita menonton komedi namun cuman bisa menangkap makna tekstual, pastinya kepala kita akan mengeluarkan asap, wajah memerah, bahkan bibir pecah-pecah, yang ada nantinya kita bisa mati stroke tak kuasa menahan emosi.

Bisa dikatakan pelawak yang sedang menghibur kita adalah pahlawan kesehatan mental. Mereka tanpa ada rasa takut dan berusaha menutupi kecemasan dirinya sendiri.

Baca Juga: Film Makelar Doa, Drama Komedi yang Tonjolkan Toleransi

Hal ini senada dengan pemikiran Freud, komedi merupakan kompensasi bagi yang direndahkan, pelipur lara teruntuk orang-orang yang terluka batinnya. Dengan kecakapan seorang komedian kita bebas menghayati candaan dalam ranah tabu di lingkungan sosial.

Jadi buat kalian yang sedang merasa terpuruk gegara ekonomi, putus cinta, hilang semangat karena nilai raport merah taruhlah dulu pikiran cemas itu, cobalah tonton komedi untuk merilekskan saraf otak. Dijamin pikiran akan terefresh.

Akhir kata mimin mau mengutip quote George Orwell:

_"Lelucon adalah pemberontakan sementara terhadap kebajikan, dan tujuannya bukan untuk merendahkan manusia, tetapi untuk mengingatkannya bahwa dia sudah direndahkan"._ George Orwell, 1945.*** (Dzikrullah)

Tags :

Leave a comment