Bisnis Ekologis dengan Silvofishery, Memelihara Kepiting Sambil Menjaga Mangrove

10 Desember 2022 19:11 WIB
Ilustrasi

Batu Ampar, pulau dengan gugusan surganya mangrove itu punya problem serius. Sebagai daerah penghasil arang pohon bakau kualitas terbaik di dunia, kini alami deforestasi. Melalui budidaya kepiting bakau dengan teknik silvofishery, berlahan mengubah stigma masyarakanya. Membangun bisnis di kawasan ekologis, tak harus melulu menembang pohon.

Di tanah lapang, di antara empat petak tambak kepiting di area seluas dua hektar itu, wajah Fahrurazi memerah sumringah begitu ribuan kepiting bakau terangkat ke permukaan.

"Panen kepiting bakau kami berhasil tahun ini," kata Fahrurazi, kepada insidepontianak.com, awal Desember 2022.

Tambak milik Fahrurazi itu berada sebuah kawasan hutan bakau, lokasinya 50 meter dari pinggir sungai, Desa Medan Mas.

Desa ini masuk Kecamatan Batu Ampar. Tepatnya berada di Kabupaten Kubu Raya, sekitar seratus mil jauhnya dari Ibukota Kalimantan Barat, Kota Pontianak.

Yang menarik dari Batu Ampar, desa memiliki hamparan hutan desa seluas 33 ribu hektare, di antaranya ada 25 ribu hektare hutan mangrove dan 17 ribu hektare hutan gambut.

Di tempat inilah, Fahrurazi menggagas budidaya kepiting dan teknik silvofishery ini baru dicobanya tiga tahun lalu.

Teknik silvofishery merupakan salah satu program alternatif untuk bisa mengembangkan kepiting secara berkelanjutan. Teknik itu awalnya bersifat mengambil dari alam saja, menjadi budidaya dan menjaga kelestarian hutan mangrove yang ada.

Tujuan akhirnya, mengajak masyarakatnya menjaga kawasan ini dari laju deforestasi. Yakni menahan kerusakan hutan mangrove dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi warga lokal.

Sebagaimana diketahui, warga Desa Batu Ampar, sudah lama, menggantungkan hidup, selain dengan nelayan, mereka juga menebang pohon bakau, lalu diolah menjadi arang dengan cara proses pembakaran yang dimasukkan ke dalam tungku raksasa.

 “Aktivitas mereka itu sudah turun-temurun dilakukan,” kata aktivis lingkungan, Dede.

Abdul, warga Desa Batu Ampar menambahkan, awalnya industri arang bakau yang dikelola oleh masyarakat hanya merupakan usaha sampingan. Belakangan, keterlibatan masyarakat dari bisnis ini bertambah, karena permintaan market yang besar.

Mulai dari pekerja penebang kayu, pemikul dan pengisi tungku pembakaran, penjaga api tungku pembakaran, pembongkaran arang, pemotong arang, hingga packing.

Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalimantan Barat, Gatot pernah berkata, arang dari hutan bakau punya kualitas yang baik ketimbang arang dari batok kelapa.

Menggunakan arang ini, api saat pembakaran berwarna sangat biru sehingga banyak digunakan antara lain di Australia untuk keperluan barbeku atau memanggang.

Data Lembaga Jari Borneo, sedikitnya ada 253 industri pengolahan arang dari pohon bakau di Desa Batu Ampar dengan total produksi sekitar 2.031 ton per tahun.

Insidepontianak mendatangi bagaimana proses produksi arang terbaik di dunia ini dihasilkan.

Baca Juga: Nelayan Batu Ampar Panen Kepiting Bakau Sistem Silvofishery

Satu di antara pekerja pembuatan arang, enggm disebutkan nama menceritakan, masa produksi rata-rata setiap tungku ialah 4-6 kali bakar per tahun. Apabila rendemen arang mencapai 20%, kebutuhan bahan bakunya mencapai sebanyak 10.155 ton setahun atau sekitar 10.155 meter kubik kayu mangrove setahun.

Dengan asumsi potensi kayu senilai 180 meter kubik/hektare, diperkirakan diperlukan hutan mangrove seluas 60 hektare setahun untuk memenuhi kebutuhan bahan baku.

“Sejak warga tahu, kepiting bakau bisa dibudidayakan dan ekonomis, banyak dari kami tertarik pengembangkannya,” kata Aliansyah, satu di antara petani kepiting bakau Batu Ampar.

Menebar Benih

Awal Februari 2020, budidaya melalui teknik silvofishery terbukti berhasil.

Fahrurazi dan puluhan petani tambak sempat melakukan panen perdana. Ratusan ribu bibit kepiting (baby crab) yang mereka tebar, kurun waktu empat bulanan sudah bisa panen.

“Ada ratusan kilo kepiting ukuran sedang kita angkat dari tambak. Kepiting laki-laki kita jual ke penampung. Yang betina kita pisahkan untuk pemijahan telur,” kata Fahrurazi.

Tapi memasuki tahun berikutnya, budidaya kepiting paceklik. Tepatnya saat pandemi melanda.

Kala itu, buyer di Jakarta berhenti menerima pasokan. Upaya petani mengalihkan pemasaran di pasar lokal malah tidak menguntungkan lantaran harga beli rendah.

Selama pandemi, kepiting ukuran 300 gram pasar lokal hanya sanggup membeli Rp 80 ribu per kilogram. Padahal harga normal Rp 130-150 ribu per kilogram. Sedangkan harga kepiting untuk agen Jakarta sebelum pandemi berkisar Rp 200- 300 ribu per kilogram.

Permasalahan lain, begitu pemerintah memberlakukan pembatasan wilayah. Petani sulit mendapat suplai baby crab dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa.

Permasalahan lain, adalah harga pakan tinggi, dianggap tak sebanding dengan nilai jual kepiting. Yang terjadi, petani memilih stop produksi.

Petani kepiting Bakau Batu Ampar, Heri mengatakan, sebelum pandemi, harga pakan menggunakan ikan rucah, petani membeli ke nelayan Rp 2 ribu per kilogram. Begitu pandemi, harga pakan naik jadi Rp 4 ribu per kilogram.

Pascapandemi, petani kepiting bakau dengan silvofishery kembali menggeliat. Pasokan bibit dari dari Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara mulai lancar. 

Ketua Kelompok Kepiting Bakau Hendry Suryadi, terdapat  45 keramba di kawasan Teluk Mastura, Kubu Raya. Setiap keramba berukuran 17 meter persegi.

November lalu, para petani tambak sudah menebar sekitar 16 ribu bibit kepiting di keramba. Adapun bibit kepiting diperoleh dari indukan kepiting dengan bobot minimal 250 gram.

Telur kemudian ditetaskan hingga menjadi anakan kepiting di fasilitas penetasan kepiting di Desa Medan Mas, Kecamatan Batu Ampar.

Baca Juga: Sampan Kalimantan Kampanye Budidaya Kepiting Sistem Silvofishery

Butuh waktu 1 bulan 2 minggu untuk proses pembenihan dari mulai pemilihan induk, penetasan, pemeliharaan jentik kepiting, hingga panen anakan kepiting.

 “Satu ekor indukan bisa menetas 1 juta sampai 3 juta benih. Pada proses pemeliharaan hingga baby crab, ada tingkat kematiannya. Tingkat hidup benih ke baby crab (anakan kepiting) hanya sekitar 1 persen,” kata Hendry.

Anakan kepiting baru bisa dilepas di keramba setelah ukuran karapasnya mencapai sekitar 3-4 centimeter. Sedangkan dari anakan kepiting hingga panen butuh waktu sekitar 4 bulan.

Cemari Lingkungan

Meski usaha budidaya kepiting bakau bernilai ekonomis, bukan berarti tanpa risiko kerugian.  Jarak lokasi tambak dekat dengan sungai, rentan terkontaminasi limbah tuba (semacam racun) yang ditebar oknum warga.

Safrudin petani tambak mengaku pernah dalam satu tambak, sekitar 10 persen anak kepiting mati karena limbah tuba.

Tuba sendiri diambil dari nama jenis akar dari pohon tuba. Cara menggunakan ini sederhana. Oknum nelayan menggunakan akar ini kemudian dimasukkan ke dalam karung. Adapun ujung pangkal dari karung ini diikat dengan batu.

Nah, setelah itu, lalu ditebar di banyak titik perairan. Selang satu-dua hari, biota perairan yang ada di dalamnya timbul ke permukaan, termasuk ikan dan anakan hingga induk kepiting dari alam.

Ari Johan, warga Batu Ampar pernah bertemu beberapa warga di kampung sebelah. Beberapa warga menjual akar tuba secara terang-terangan, Rp 40 ribu  per kilogram.

Selain meracun dengan bahan alami. Oknum warga juga kerap meracun dengan menggunakan pestisida untuk racun rumput, dengan cara disiram ke permukaan sungai. Efeknya lebih ganas dari racun tuba.

“Sampai sekarang aktivitas ilegal itu kerap terjadi dan pelakunya kebanyakan adalah warga desa kita juga, tuturnya.

Penanganan Khusus

Kepala Divisi Pemberdayaan, Lembaga Sahabat Pantai (Sampan), Vincent kepada insidepontianak mengatakan, kegiatan budidaya kepiting bakau sebenarnya sudah ada sejak lama, karena kepiting bakau merupakan salah satu komoditas yang potensinya cukup besar di wilayah Batu Ampar.

Sejak 2010-2014, papar dia, beberapa kelompok sudah menerapkan skema ini, namun pengembangan dan manajemen pengelolaannya belum tersusun dengan rapi.

Sisi lain, pengembangannya belum maksimal karena beberapa faktor seperti modal dan akses yang luas masih kurang optimal.

Menurut Vincent, penerapan teknik ini dilakukan karena masyarakat sadar akan perlunya pengembangan secara berkelanjutan yang memberikan dampak yang luas bagi masyarakat pembudidaya.

Selain itu, pengembangan ini juga membuat masyarakat mengelola kerambanya dengan menjaga tutupan hutan yang ada. Hal ini memberikan dampak terjaganya hutan di sekitar keramba kepiting.

Ke depannya, pengembangan akan diselaraskan dengan konsep ekowisata mangrove di Desa Batu Ampar, karena lokasi keramba kepiting berada dalam kawasan hutan mangrove.

Keselarasan ini akan dimaksimalkan sehingga berbagai aspek pengembangan dapat dijalankan secara optimal dan berkelanjutan.

Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan akan mengkaji skema model bantuan untuk petani budidaya. Termasuk untuk pembenihan, pemerintah akan terus melakukan penelitian mengenai model yang cocok buat petani.

“Apakah subsidi bunga, modal, KUR, atau apa. Kita sedang kaji yang pas yang mana,” kata Muda. Termasuk mengenai pembibitan, bagaimana petani bisa mandiri swasembada bibit.

Pemda Kubu Raya juga sedang mengkaji inovasi hatchery atau tempat pembenihan untuk petani. Termasuk bagaimana penanganan terhadap sejumlah kendala pembesaran kepiting di areal tambak, mengingat letak keramba yang berada di alam terbuka.

“Ini peluang yang luar biasa untuk mempercepat kemandirian desa juga,” tutup Muda Mahendrawan.

 

Tags :

Leave a comment