Laut, Kreativitas Pablo Neruda dan Mimpi Museum Sastra

13 Desember 2022 08:39 WIB
Ilustrasi

 

Rumah sastrawan Chile, penerima hadiah Nobel, Pablo Neruda mungkin adalah rumah impian setiap sastrawan atau penulis yang mencintai lautan, untuk menghasilkan karya sastra dahsyat, seperti karya-karya Pablo Neruda.

Seluruh magnet pesona lautan hadir di rumah itu. Menjadi sebuah atmosfir yang mampu memicu keliaran imajinasi, dan kedalaman sebuah permenungan dalam proses kreatif seorang penulis. 

Setidaknya, itulah yang saya rasakan saat menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di rumah yang dijadikan sebagai museum biografis Pablo Neruda.

Pablo Naruda disebut Gabriel Garcia Marquez sebagai the greatest poet of the 20th century in any language tinggal di rumah itu bersama istrinya Matilda. Karya monumental Neruda pertama kali terbit tahun 1924, yaitu Veinte poemas de amor y una canción desesperada (Twenty Love Poems and A Desperate Song), sebuah kumpulan puisi cinta yang kontroversial karena sangat erotis isinya.

Kumpulan puisi ini terjual jutaan eksemplar sejak pertama diterbitkan, dan membuat Pablo Neruda menjadi terkenal. Buku ini juga sampai seratus tahun kemudian, bertahan sebagai buku puisi berbahasa Spanyol terlaris.

Romantisnya Pablo Neruda sangat terasa kental di rumah Isla Negra. Pablo Neruda punya 3 rumah. Satu di Santiago, satu di Isla Negra dan satu di Valparaiso.

Rumah yang dijadikan museum biografis ini, bersuasana romantis sejak mulai dari living room. Satu set sofa berwarna putih gading, diletakkan di tengah ruangan berlantai dan beratap kayu itu, dengan posisi diagonal. Ruangan ini dibuat terbagi menjadi satu setengah lantai.

Ada tangga di pojok naik untuk ke bagian atas yang hanya merupakan semacam koridor teras. Dari bagian atas ini, Pablo Neruda mengikat patung-patung yang dikoleksinya dari seniman-seniman patung Chile dengan posisi tergantung menghadap ke bawah, menciptakan suasana seolah patung-patung itu menemani Pablo Neruda saat bersantai.

Kecintaan Pablo Neruda pada Laut

Ruangan-ruangan lain di rumah berbentuk memanjang, mengikuti garis bibir pantai itu juga sangat menarik, dan menggambarkan karakter sosok Pablo Neruda dalam kehidupan sehari-harinya.

Ada ruangan yang khusus menyimpan koleksi pernik-pernik kemaritiman. Seperti kompas-kompas kuno yang dipakai para pelaut, roda kemudi nahkoda kapten kapal, peta-peta kuno, teleskop pelaut dan miniatur kapal-kapal besar di zaman kejayaan armada bangsa Spanyol di tengah lautan.

Kecintaan Neruda pada laut tergambarkan melalui setiap detil desain rumah di Isla Negra, yang hampir semua ruangannya berjendela kaca besar yang langsung menghadap pemandangan laut Antartica.

Di  ruang makan pun, Pablo Neruda yang hobi mengumpulkan bermacam pernik-pernik, mengekspresikan kecintaannya pada lautan dengan memajang lukisan dan patung bertema lautan.

Di satu sudut ruangan itu, ia menempelkan patung perempuan berpakaian pelaut seukuran manusia nyata, tengah memgenggam setangkai mawar merah muda. Sebuah miniatur kapal berukuran besar diletakkan di lorong sebelum memasuki ruang makan.

Ada juga sebuah patung sosok perempuan setengah badan persis menghadap jendela seakan tengah terpesona oleh debur ombak dan nyanyian camar di tengah lautan. Patung itu seakan mewakili keterpesonaan Pablo Neruda pada laut, sebagai sumber inspirasinya sekaligus mungkin sebagai obsesinya.

Di ruang kerja utama tempat ia menulis, Pablo Neruda meletakkan meja kerjanya pada posisi menghadap bagian laut yang paling memesona yang dipenuhi karang-karang bermacam bentuk, pasir pantai yang putih panjang dan bunga-bunga aneka warna di tebing-tebing kecil sebelum mencapai pantai.

Di meja kerjanya itu, Pablo Neruda juga meletakkan sebuah teropong seakan ia seorang kapten kapal yang setiap kali harus meneropong lautan. 

Memimpikan Museum Sastra Indonesia

Sambil menikmati setiap detil ruangan di museum biografis Pablo Neruda, saya ngobrol via Whataps dengan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid tentang mimpi membangun sebuah museum sastra di negeri kita sendiri. Ternyata gagasan ini juga menjadi salah satu mimpi dari Dirjen Kebudayaan.

“Sedari dulu saya bahkan sudah membayangkan kita bisa memiliki pusat-pusat kebudayaan Indonesia di berbagai negara, yang tentunya harus didukung oleh adanya museum sastra dan museum-museum kebudayaan lainnya,” tutur Hilmar Farid dalam obrolan Whatsapp-nya dengan saya.

Persoalannya, sampai sekarang masih banyak kendala untuk mewujudkan pembangunan museum sastra di negeri kita. Pada tataran konsep saja, ada banyak persepsi dan pemahaman yang susah untuk dipertemukan dalam satu kompromi, yang bisa mengakomodasi bermacam kepentingan.

Jika memakai pendekatan seperti di Chile, kita bisa mendirikan banyak museum di berbagai daerah asal sastrawan-sastrawan hebat Indonesia. Bayangkan misalnya kita memiliki museum AA Navis di Padang, museum Chairil Anwar di Medan, museum Linus Suryadi AG di Jogjakarta, museum Umar Kayam di Ngawi atau museum Pramoedya Ananta Toer di Blitar yang beberapa tahun lalu, pernah digagas dan dicoba diwujudkan tapi belum berhasil.

Bisa juga kita memulai dengan pendekatan yang berbeda, yaitu dengan membangun sebuah museum sastra Indonesia yang menampilkan sejarah dan dinamika sastra Indonesia secara keseluruhan sejak dari era kolonialisme, pujangga lama, pujangga baru sampai era sastra modern.

Pendekatan ini tentu tidak meniadakan gagasan atau mimpi memiliki museum tokoh-tokoh sastra Indonesia yang hebat. Gagasan atau mimpi ini justru akan menjadi pendorong terwujudnya museum-museum para sastrawan hebat Indonesia di berbagai daerah, seperti halnya museum biografis Pablo Neruda di Isla Negra, Chile.

Saya berhenti agak lama di ruang kamar tidur Pablo Neruda dengan isi kepala membayangkan ruangan kamar tidur hotel yang disewa Iwan Simatupang. Kamar tidur Pablo Neruda berukuran sekitar 4x4 meter persegi dengan posisi ranjang segaris diagonal ruangan seperti posisi sofa di living room-nya.

Di bagian pojok kamar ada lemari pakaian yang masih terisi oleh pakaian-pakaian asli Pablo Neruda, dan di pojok satunya ada sebuah kamar kecil yang dinding dan daun pintunya dipenuhi gambar-gambar dari guntingan koran, poster-poster, sobekan majalah dan juga post card.

Di kamar tidur Pablo Neruda dan Matilda itu, saya tiba-tiba merasa optimis bahwa mimpi untuk mewujudkan sebuah museum sastra Indonesia dan berpuluh museum biografis sastrawan hebat Indonesia pasti akan bisa diwujudkan. Apa yang diperlukan untuk mewujudkannya, pertama-tama adalah tekad dan semangat pantang menyerah dari semua stakeholder yang peduli dan punya mimpi yang sama.

Langkah berikutnya, melakukan konsolidasi untuk mensinergikan berbagai potensi yang bisa dijadikan sebagai modal awal, mewujudkan mimpi ini. Dengan modal dan langkah awal ini, niscaya kebuntuan dan tembok-tembok penghalang akan bisa diruntuhkan.*** 

 Penulis: FX Rudy Gunawan

Tags :

Leave a comment