Akhir Tragis Sang Loyalis dan Depresi Politik

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
Kematian Iqbal dengan cara terjun ke Sungai Kapuas, menjadi peristiwa kelam menyambut Pemilu 2024, di tengah euforia partai mendaftarkan para Caleg ke Kantor KPU. Malam itu, medio Januari 2023, di warung kopi Jalan dr Wahidin Pontianak, Muhammad Iqbal Zafarullah, dengan kaos oblong merah, bercerita panjang lebar tentang Golkar kepada Inside Pontianak. Satu di antara yang dibicarakan, bagaimana membangun jaringan Golkar dengan media massa, dan keinginannya menjadi Calon Legislatif (Caleg) DPRD Kubu Raya, Daerah Pemilihan (Dapil) Kecamatan Sungai Kakap. Saat itu, ia baru saja ditunjuk menjadi Plt Ketua DPD Golkar Kubu Raya. Menggantikan Erry Iriansyah, yang tersandung kasus korupsi. Semangatnya menggebu. Targetnya, ingin meningkatkan perolehan kursi, dengan menggerakkan seluruh potensi yang ada. Setidaknya, inilah cerita Iqbal yang pernah disampaikan. Namun sayang, mimpinya itu tak tuntas. Ia meninggal tragis. Terjun ke Sungai Kapuas di pangkalan pasir PD Pasir Satria, Desa Kuala Dua, Kubu Raya, usai mendaftarkan Caleg di KPU Kubu Raya, Minggu (14/5/2023). Peristiwa ini menggemparkan. Bak petir di siang bolong. Partai beringin terguncang, satu buahnya gugur. Terlebih keluarganya. Sebab, Iqbal dikenal tangguh dan agamis. Cerita dari pihak keluarganya, Iqbal selama ini disebut tak pernah ada masalah di keluarga. Rumah tangganyapun adem ayem. Aktivitasnya seperti biasa, sibuk di politik. Karena menjelang Pileg dan Pemilu 2024. Sebagai Ketua Golkar di Kubu Raya, ia harus menyiapkan segala hal. Ia sendiri ikut mendaftar sebagai Caleg. Tapi, Caleg Provinsi Kalbar Dapil Mempawah-Kubu Raya. Tak seperti rencanya di awal. “Iya, beliau salah satu Bacaleg Provinsi Golkar dari Dapil II,” kata Ketua DPD Golkar Kalbar, Maman Abdurahman, Selasa (16/5/2023). Maman tak meyakini Iqbal bunuh diri. Dia minta semua pihak tidak berspekulasi. Kendati Kapolres Kubu Raya, AKBP Arief Hidayat menegaskan, motif dugaan bunuh diri Iqbal sedang dalam penyelidikan. Sejauh ini, empat saksi sudah diperiksa. Pengamat hukum, Herman Hofi Munawar mendorong kepolisian mengungkap motif itu. Supaya tidak ada persepsi liar di publik. Ia meminta semua pihak terbuka. Termasuk partai. Supaya polisi bisa lebih mudah menggali fakta sesungguhnya. Misteri kematian Iqbal hanyalah satu dari sebuah peristiwa, di mana momen politik bisa saja menjadi sebuah masalah pelik yang menyebabkan orang depresi. Tapi di kasus Iqbal, motifnya masih misteri. [caption id="attachment_24921" align="alignnone" width="1066"]Infografis Pemicu Bunuh Diri/Adit/Yak/Insisde Pontianak. Infografis Pemicu Bunuh Diri./Adit/Yak/Inside Pontianak.[/caption] Politisi Depresi dan Mahar Politik Dunia politik yang mahal, penuh dengan intrik dan saling sikut, tak jarang membuat orang stres dan depresi berat. Bahkan, nyaris di setiap kontestasi Pemilu, tak sedikit cerita-cerita politisi yang stres hingga ada yang nekat mengakhiri hidupnya karena gagal. Pada Pileg 2019 misalnya. Antara melaporkan seorang Caleg bernama Sri Wahyuni Nomor Urut 8 DPRD Kota Banjar dari Partai PKB, nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Ada juga Yuli Nursanti, salah satu calon Bupati Ponorogo, Jawa Timur. Ia kalah pada tahun 2005 dan berujung pada percobaan bunuh diri. Contoh lain, Nano Hermanto, mantan anggota DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang juga nekat mau bunuh diri dengan memanjat tower setinggi 62 meter di pinggiran Kota Subang karena kalah. Dosen senior psikologi dari Universitas Salford, Inggris pernah menyebutkan, ada beragam hal yang bisa membuat stres para politisi. Beberapa di antaranya, terlalu banyak bekerja, jam kerja panjang, membawa pekerjaan ke rumah, dan kurangnya dukungan emosional. Disebutkan pula, faktor lain yang juga bisa membuat politisi mengalami gangguan mental adalah beban utang, akibat banyaknya uang yang dikeluarkan dalam masa kampanye, atau praktik mahar politik. Persoalan itu terjadi tak lepas dari buruknya sistem Pemilu dari masa ke masa.  Sistem Politik Era Orde Lama Berbicara tentang bentuk politik dan bentuk negara di Indonesia, Sukarno pernah menulis dalam bukunya berjudul, “Di Bawah Bendera Revolusi”: “Asa tidak boleh kita lepaskan, tidak boleh kita buang. Bahkan malahan sesudah tercapainya Indoensia merdeka itu harus menjadi dasar caranya kita menyusun kita punya masyarakat. Sebab justru sesudah Indonesia merdeka itu timbullah pertanyaan: bagaimana kita menyusun kita pergaulan hidup? Cara monarki? Cara republik? Cara kapitalis? Cara sama rasa sama rata? Semua pertanyaan ini, dari sekarang sudahlah harus terjawab di dalam asas kita.” Dalam sejarah perkembangannya, posisi Presiden Sukarno yang sangat sentral, turut mengubah arah jalan demokrasi di negara ini. Dalam buku berjudul: “Golkar Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika” karya David Reeve, pada 22 Agustus 1945, Sukarno mengusulkan negara satu partai di bawah PNI-Staatspartij. Selanjutnya dibentuk kabinet pertama yang bertanggungjawab kepada presiden. Melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) konsep ini ditunda dan dikritik karena dianggap tidak demokratis. Tapi, pada 31 Agustus 1945, konsep negara satu partai ditunda. Bahkan, pada 30 Oktober 1945, KNIP secara resmi mengkritik konsep satu partai. Pada 3 November 1945, pemerintah menyerukan pembentukan partai politik. Setelah pidato pemerintah yang diwakili Muhammad Hatta, dimulailah sistem multipartai di Indonesia. Ada beberapa partai politik berdiri. Seperti, Majelis Syuro Muslimin atau Masyumi, Partai Komunis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Partai Rakyat Sosialis, Partai Katholik Republik Indonesia, Persatuan Marhaen Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan lainnya. Pemilu pertama pada 29 September 1955 dilaksanakan dua tahap. Tahap pertma memilih anggota-anggota DPR. Tahap kedua berlangsung pada 15 Desember 1955, memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Pemilu pertama dilaksanakan berdasarkan amanat UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Pemilu 1955, dianggap sebagai pemilu paling demokratis, meski negara sedang dalam kondisi tak stabil karena adanya berbagai pemberontakan di daerah, seperti Kartosoewiryo. Pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno membubarkan Konstituante, dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, melalui Dekrit Presiden sebagai sarana konstitusional untuk membangun sistem politik yang berdasar pada perwakilan fungsional. Melalui dekrit presiden, Sukarno membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS). Sukarno mengangkat semua anggota DPR-GR dan MPRS. Bersama Profesor Raden Supomo (ahli hukum adat dan konstitusi), Sukarno menyusun dan mempertahankan konstitusi, bermaksud membentuk semacam negara korporatif (corporate state) yang mereka sebut kolektivisme berlandaskan pada asas kekeluargaan. Era Orde Lama di bawah pemerintahan Presiden Sukarno, Pemilu yang mestinya dilaksanakan lima tahun sekali, tidak berjalan lagi. Sistem Politik Era Orde Baru Orde Baru ditandai dengan naikknya Soeharto melalui Supersemar atau Surat Perintah 11 Maret. Setelah “menerima mandat” Soeharto didaulat menjadi pemegang amanat untuk mengamankan negara. Selanjutnya, melalui Sidang Istimewa DPR-GR dan MPRS melantik Soeharto sebagai pejabat presiden pada 27 Maret 1968. Presiden Suharto semestinya menyelenggarakan pemilu pada 1968. Namun, melalui Sidang Istimewa, pemilu pertama diundur hingga 1971. Sembari memerintah, Presiden Soeharto mulai membersihkan para anggota DPR-GR dan MPRS yang dianggap masih pro Sukarno. Tak hanya itu, partai politikpun digabungkan dalam tiga partai saja, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Golongan Karya. Cornelis Lay dalam bukunya berjudul, “Melawan Negara PDI 1973-1986”, menuliskan, Ide untuk mencapai stabilitas politik melalui penyederhaan kompleksitas politik dan pereduksian politik sebagai sarana pembangunan ekonomi, sedang memasuki tahap-tahap perkembangan awal yang banyak digandrungi negara-negara dunia ketiga. Dalam konteks Indonesia, ide ini menemukan momentum justru karena merupakan simpul pertemuan antara kekecewaan, kebencian, penolakan, dan lebih lagi, trauma atas masa lalu, dan impian tentang harmoni. Selanjutnya, David Reeve menyebut, 1968-1998, Golkar digunakan sebagai kendaraan elektoral bagi militer dan Orde Baru.  Sistem Politik Era Reformasi Krisis ekonomi dan sumbatnya saluran politik masa Orde Baru, menimbulkan krisis multidimensi dan perlawanan di berbagai sektor, khususnya gerakan mahasiswa. Akhirnya, pemerintahan Orde Baru dan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, mengundurkan diri. Runtuhnya kekuasaan Orde Baru, memunculkan keterbukaan politik di Indonesia. Era Reformasi ditandai dengan semakin terbukanya ruang-ruang demokrasi di Indonesia, termasuk dalam sistem politik di Indonesia. Keterbukaan itu juga termasuk membentuk partai-partai baru. Era Reformasi ditandai dengan munculnya banyak partai hingga mengikuti pemilu. Agenda reformasi, salah satunya, otonomi daerah seluas-luasnya, turut membawa perubahan sistem politik di Indonesia. Jika pada Era Orde Baru, pemilihan anggota legislatif ditentukan oleh partai politik itu secara internal, Era Reformasi, para calon ditentukan langsung melalui pemilu legislatif. Tidak melalui nomor urut yang ditentukan partai. Hal ini membawa konsekwensi, bila ingin terpilih, maka calon anggota legislatif di tingkat DPR RI, DPRD Provinsi atau DPRD Kota/Kabupaten, harus bekerja keras untuk menjaring suara rakyat dengan cara mengkampanyekan diri mereka. Begitu pun dengan pemilihan presiden, kepala daerah tingkat provinsi hingga kota/kabupaten. Para calon harus bisa menarik simpati rakyat dengan berbagai cara, program atau apapun itu. Konsekwensinya, biaya politik menjadi melambung. Dibutuhkan dana besar untuk memenangkan suatu kontestasi politik. Nah, apakah harga keterbukaan di era reformasi itu sepadan dengan demokrasi yang kita peroleh saat ini? Penyelenggaraan Pemilu Penyelenggaraan Pemilu 2024 sendiri masih menganut sistem terbuka, walau sistem ini tengah diuji di Mahkamah Konsititusi. Sistem terbuka berdampak baik untuk kebebasan demokrasi. Sebab, masyarakat bisa menentukan pilihannya dalam menentukan wakil rakyatnya yang akan duduk di parlemen. Namun begitu, ada juga dampak negatifnya. Salah satunya, membuka ruang politik transaksional jual beli suara. Juga membuka ruang oligarki masuk dalam sistem pemerintahan. Dalam sistem pemilihan legislatif, tahapannya dimulai dari penjaringan di partai-partai peserta Pemilu. Pada proses penjaringan di internal partai inilah penuh dinamika. Para kader berkompetisi. Untuk merebut surat rekomendasi mandat ketua Umum Partai, dengan rekomendasi masing-masing ketua partai di tingkat provinsi, kabupaten/kota. Dalam proses itu tak mudah. Sebab, kompetisinya tak hanya cukup mengandalkan kemampuan intelektual. Tapi, juga bicara lobi-lobi dan transaksional. Maka, tak jarang sesama kader saling sikut dan saling menyingkirkan. Bahkan intrik ini berlanjut sampai setelah pemilihan selesai. Dalam kasus Alexius Akim misalnya. Ia adalah Caleg DPR RI 2019. Berhasil memperoleh 38.750 suara. Perolehan suara terbanyak kedua setelah Cornelis. Hasil itu mestinya mengatarkan mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar tersebut duduk di senayan. Namun, jelang detik-detik pelantikan, ia malah disuruh mundur. Ia sempat menolak. Saat itu, Ketua DPP PDIP dijabat Djarot Saiful Hidayat. Menurut Akim, penjelasan Djarot soal permintaan mundur itu, perintah partai. Alasannya tak dijelaskan. Karena itu, ia tetap pada keputusannya tidak akan menandatangani surat pengunduran diri. “Akhirnya saya dipecat. Saya bilang terserah. Sudah selesai begitu saja,” ujarnya. Ini menjadi bukti betapa kejamnya persaingan di internal partai politik. Tak ada kawan abadi, yang ada saling menyingkirkan. Sementara, dalam sistem Pemilu, KPU sebagai penyelenggarapun tak punya hak prerogatif menetapkan Caleg walau ada dasar perolehan suara yang cukup. Tetap, semua hasil finalnya keputusan partai. (Wati/Abdul/Yak/Andi)

Leave a comment