Banjir Sintang, Bukti Carut Marut Pengelolaan Lingkungan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana (Bagian III)

17 November 2021 13:03 WIB
Ilustrasi
Banjir Sintang dan lima wilayah lain di Kalbar, telah menimbulkan penderitaan terhadap puluhan ribu warga. Banjir merupakan bukti carut marut pengelolaan lingkungan. Banjir Sintang dan wilayah di perhuluan Kalbar lainnya, mestinya bisa diperkecil dampaknya. Tentunya, bila pemerintah Provinsi Kalbar, memiliki mitigasi dan adaptasi bencana dalam melakukan pembangunan. Sayangnya, Gubernur Kalbar Sutarmidji mengabaikan peringatan yang sudah dilakukan BMKG, dua bulan sebelum bencana terjadi. Hall itu merupakan bukti carut marut pengelolaan lingkungan. Manajemen Bencana Melihat masalah banjir di perhuluan Kalbar, seperti terjadi di Sintang, Melawi, Sekadau, Sanggau bisa dimulai dengan pertanyaan sederhana. Banjir itu bencana atau takdir? Kalau banjir disebut bencana, maka mesti ada mitigasi, perencanaan atau risk manajemen. “Bila tidak diikuti dengan perencanaan, maka tidak ada penganggaran. Tidak ada tool ke perencanaan pembangunan. Yang bisa masuk dalam pembangunan adalah manajement risk,” kata Haryono dari Natural Kapital. Ia menegaskan, untuk menangani masalah banjir, harus ada pembangunan berdasarkan keanekaragaman hayati (Kehati). Dan itu sudah ada pengumuman. Tapi, ini tidak dilakukan pengumuman mitigasi. Banjir belum ada early warning. Sistem ini tidak jalan. “Harusnya Pemkab Sintang merespons info BMKG yang ada di Bandara Tebelian Sintang dua bulan sebelumnya. Kuncinya pada pejabat yang punya diskresi,” kata Yono. Ada yang tidak terhubung dalam jalur penanganan banjir di tingkat antar institusi. Misalnya, BNPB bentuk mandat yang diberikan. Cuma, kerja BNPB tidak terkoneksi. Selain itu, BNPB tidak dalam rangka mitigasi. Mandat pencegahan bukan di BNPB, tapi ada di KLHK. BNPB tidak terkoneksi ke KLHK. “Kalau disalahkan, sistem otonomi daerah. Sistemnya tidak menyambung,” kata Yono. Misalnya, relasi dengan daerah hulu, perubahan penggunaan lahan seberapa parah? Daya dukung lingkungan Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial (BPEE) kritikal yang harus ditanggapi. “Sejauhmana yang punya kebijakan melaksanakan kapasitasnya,” kata Anas Nasrullah, pemerhati lingkungan, menambahi, “harus ada mitigas, adaptasi dan penanggulangan.“ Kepala daerah sering abai dengan informasi yang diberikan. Setelah terjadi bencana, pejabat baru bergerak. Sementara, mentalitas aparatur tidak bisa melaksanakan tugas itu. Pada tahap penanganan, soal koordinasi tidak bisa bergerak. Apalagi di level hulu. Setiap bencana selalu kerepotan, karena tidak ada perencanaan. Lantas, adakah skenario penanggulangan secara holistik? Atau, dari sisi kultural? Mestinya, harus ada upaya untuk kembali ke budaya sungai. Contoh, saat orang buat rumah. Mereka tidak menghadap ke sungai. Malah dapurnya di sungai. Padahal, dulu, budaya sungai sudah menjadi tradisi. Misalnya, ada jembatan melengkung di atas sungai. Ada rumah panggung. [caption id="attachment_6306" align="alignnone" width="617"]Banjir SIntang Banjir Sintang merendam ribuan rumah mengakibatkan orang mengungsi dari kediaman rumah dan tempat tinggal mereka.[/caption] Penanganan Banjir Penanganan banjir mesti dilakukan secara terintegrasi. Apalagi terkait dengan tata ruang. Satu daerah dengan lainnya, semestinya harus terhubung. Misalnya, Pinoh awalnya adalah buffer atau zona pengaman Kota Sintang. Tapi, Pinoh alami banjir dan longsor. Hal itu terjadi, karena setiap wilayah diberi kuasa, mengelola wilayahnya sendiri. Sehingga penerbitan izin perkebunan, tambang dan lainnya, tidak memikirkan kondisi daerah lain. “Harus ada kebijakan bersama untuk bicarakan mengenai banjir. Masing-masing Pemkab harus saling bicara, karena lintas kabupaten leadership Gubernur diperlukan” kata Anas. Harus terpola dan saling terkoneksi, kerja bareng atasi banjir. Tidak berbasis keuangan saja. Tapi ada diskresi. Adakah skenario penanggulangan bersama. Dari pemkab dengan provinsi. Karena itu, lintas kabupaten, tidak lagi berbasis keluhan masalah, tidak punya otoritas, tidak mengoptimalkan birokarasi, dan lainnya. “Yang namanya bencana, harusnya birokrasi putus di tingkat musyawarah para pihak,” kata Anas. Dicontohkan Anas, harus ada seperti tata kelola SAR Mission Coordinator (SMC). Ada kerelaaan orang untuk dipimpin. Menangani bencana dengan skenario birokrasi, pembatas masalah itu yang membuat penanganan tak bisa berjalan. Harus ada mekanisme yang disepakati. Kalau ada inisiasi yang terdampak adalah logistik, maka harus ada cara untuk mengamankan logistik. Mendistribusikan logistik. Semua terkesan tidak siap, belum terlihat ada mekanisme yang dibuat untuk menangani banjir. Seperti, mekanisme untuk penanganan gempa. Misalnya, ada jalur-jalur evakuasi yang dibuat, bila terjadi gempa. Padahal, mekanisme tidak butuh payung hukum. Cukup menggunakan strategi. Masing-masing sektor harusnya membuat mekanisme bersama. “Voluntery based yang muncul. Maka bergerak tanpa dana. Bisa dilakukan, tapi tentu tidak semua,” ujar Anas. Kalau bencana banjir ini dihubungkan dengan sawit, maka pertanyaanya, seberapa besar sedimentasi yang disumbang oleh sawit? Sehingga mengurangi volume sungai, karena sedimentasi. Tak semua ilok dan HGU ditanami. Paling kurang dari setengah saja, karena ada hak yang lain. Bandingkan dengan individu petani yang menggunakan lahan. Data statistik di Sintang, 40 persen dikelola oleh small holder (sawit, karet dan lainnya), perusahaan 8-9 persen. Walaupun 9 persen, karena pola yang satu bentang lahan dan massif dalam pembukaan lahan, tentu ini harus menjadi titik kesadaran perusahaan, melakukan aksi penanggulangan dampak. “Ekonomi penyokong Sintang (21 persen) adalah land base. Bisa sawit, karet dan lainnya,” kata Anas. Trade off adalah salah satu alat dan perhitungan yang bisa menjelaskan alih fungsi lahan. Termasuk keberlanjutannya bagaimana. [caption id="attachment_6328" align="alignnone" width="642"]Banjir di Sekadau Dua unit truk terperosok di tengah kondisi jalan yang banjir di Kabupaten Sekadau. (Sumber: Facebook Sekadau informasi).[/caption] Banjir bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja. Banjir ada penyebab. Masalah itu yang mesti ditangani. Satu diantaranya, setiap kepala daerah, harus punya perspektif lingkungan, saat mencanangkan pembangunan. Nyatanya, perspektif peduli lingkungan kurang dimiliki para kepala daerah. Buktinya? Lihat saja visi-misi para kepala daerah, ketika mereka mencalonkan diri. Masalah terkait lingkungan, banjir, Karhutla dan lainnya, jarang disebut saat pemaparan visi-misi.(Muhlis Suhaeri).***

Leave a comment