Duplikasi Jembatan Kapuas 1 (Bukan) Solusi Jitu Atasi Kemacetan Lalu Lintas

21 Maret 2024 12:47 WIB
Presiden Jokowi bersama Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, dan Anggota DPR RI, Syarief Abdullah Alkadrie, dan Pj Gubernur Kalbar Harisson, meresmikan Dupliasi Jembatan Kapuas I, Pontianak, Kamis (21/3/2024). (YouTube/Setkab)

PONTIANAK, insidepontianak.com - Duplikasi Jembatan Kapuas 1 Kota Pontianak, diperkirakan hanya mampu mengurai kemacetan jangka pendek.

Sebab, pertumbuhan kendaraan terus meningkat. Sementara, tidak ada kebijakan intervensi pembatasan penggunaan kendaraan bermotor untuk beralih menggunakan transportasi massal.

Pemandangan kemacetan panjang di Kota Pontianak, saban hari terjadi di persimpangan empat Jembatan Kapuas 1.

Jembatan Kapuas 1, membelah Sungai Kapuas. Panjang jalur jembatan sekitar 700 meter. Menghubungkan Kecamatan Pontianak Timur dan pusat Kota Pontianak.

Kemacetan panjang di jalur ini terjadi saat pagi dan sore. Jam-jam pergi dan pulang kerja. Begitu setiap hari. Membuat kebisingan warga.

"Setiap hari, lewat Jembatan Kapuas 1, rase kesal tak belawan. Terutama saat sore pulang kerja. Macetnya minta ampun. Apalagi kalau ada mobil mogok, macetnya melekat," ujar Lili.

Warga Parit Mayor Pontianak Timur ini, merupakan bidan dan ibu rumah tangga. Setiap hari, ia harus turun subuh untuk kerja sekaligus mengantar anak sekolah. Kalau tidak, bisa terjebak macet.

Untuk mengurai kemacetan itu, pemerintah pun membangun duplikasi Jembatan Kapuas 1. Pembangunannya telah dimulai sejak 2022. Kini, sudah rampung 100 persen.

Jembatan telah diresmikan langsung Presiden Jokowi, Kamis (21/3/2024) dan bakal dibuka sore hari. Duplikasi Jembatan Kapuas 1, menjadi kado Lebaran bagi warga Pontianak. Setidaknya, jalan di jalur ini lancar saat perayaan Idul Fitri. Begitu harapannya.

"Mudah-mudahan, setelah beroperasinya duplikasi Jembatan Kapuas I ini tak macet lagi," harap Lili.

Duplikasi Jembatan Kapuas 1, merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang ada di Kalbar, di masa kepemimpinan Presiden Jokowi.

Pembangunannya, sepenuhnya dibiayai APBN. Menelan biaya Rp275 miliar. Sementara pembebasan lahan untuk jalan ditanggung Pemerintah Kota Pontianak.

Panjang duplikasi Jembatan Kapuas 1, mencapai 430 meter. Lebarnya 9 meter. Proyek duplikasi jembatan ini merupakan yang kedua, setelah duplikasi Jembatan Kapuas Landak yang berjarak 2,3 kilometer dari Jembatan Kapuas 1.

Menambah jalan, lajur, dan membangun duplikasi Jembatan Kapuas 1, dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kemacetan. Padahal, persoalan kemacetan terjadi akibat pertumbuhan kendaraan yang tidak terbendung.

Bukan Solusi Jitu

Pengamat Tata Kota, Universitas Tanjungpura, Slamet Widodo pun meyakini, kehadiran duplikasi Jembatan Kapuas 1, hanya sebatas membantu mengurangi kemacetan. Bukan mengatasi secara permanen.

Sebab, masih ada pekerjaan rumah yang mesti dilakukan pemerintah, dengan rekayasa lalu lintas di Simpang Tanjung Raya I.

Dekan Fakultas Teknik Untan ini berpendapat, hadirnya duplikasi Jembatan Kapuas 1, sudah benar untuk mengurai kemacetan. Tapi hanya bersifat jangka pendek.

Sebab, duplikasi Jembatan Kapuas 1, hanya menambah jalur kendaraan menjadi empat lajur. Dia mengasumsikan, jika lebar lajur 3,5 meter saja, maka sanggup mengalirkan lalu lintas hampir sekitar 1.500 satuan mobil penumpang. Apalagi jika empat lajur, maka ada 5 ribu kendaraan yang dialirkan per jam.

Jika 80 persen sepeda motor dan sisanya kendaraan ringan, maka jumlah kapasitas kedua jembatan melewatkan 9 ribu kendaraan per-jam.

"Jadi, kapasitas kedua jembatan sangat besar," lanjut Slamet.

Namun, di sisi lain, kapasitas kendaraan yang besar tidak diimbangi dengan kapasitas persimpangan yang ada di dua jalur tersebut secara bergantian.

Alhasil, menurutnya, jalur persimpangan Jalan Tanjungpura-Imam Bonjol dan persimpangan Tanjung Raya I-Tanjung Raya II, dipastikan akan mengalami persoalan. Karena itu, perlu rekayasa lalu lintas di sejumlah jalur persimpangan itu.

Maka, ia menyarankan agar persimpangan Tanjung Raya I menuju Rumah Sakit Yarsi Pontianak ditiadakan.

Sebagai gantinya, harus dibuat alternatif U-turn dengan benar. Bisa ditempatkan sebelum SPBU Jembatan Kapuas Landak.

"Atau, antara Jembatan Kapuas 1 dan Jembatan Kapuas Landak, atau sepertiganya," ucapnya.

Di sisi lain, solusi jangka panjang yang dapat dilakukan pemerintah untuk menekan kemacetan di jalur ini yaitu, dengan menghilangkan beberapa persimpangan. Agar arus lalu lintas terus mengalir.

Seperti penutupan di simpang empat Polda Kalbar, simpang Purnama-M Sohor, dan simpang Podomoro depan Mitra Mart. Cara ini terbukti, mengurangi kemacetan total.

Pemicu Kemacetan

Persoalan kemacetan di Kota Pontianak, sejatinya tak hanya terjadi di jalur Jembatan Kapuas 1. Tetapi, juga berpotensi terjadi di jalan-jalan protokol yang padat kendaraan. Termasuk di Jalan Ahmad Yani. Terutama saat sore hari.

Ini karena, pertumbuhan kendaraan tidak diimbangi dengan peningkatan pelebaran jalan secara berkelanjutan. Persoalan inilah yang memicu lambat laun kemacetan terjadi.

Data Dispenda Provinsi Kalbar, memperlihatkan, peningkatan jumlah kendaraan roda dua dari tahun 2021 ke tahun 2022, sangat tinggi. Jumlahnya, dari 130,767 unit meningkat menjadi 781,862 unit.

Begitu pun peningkatan jumlah kendaraan roda empat di tahun tersebut. Dari 13.415 unit meningkat menjadi 85.884 unit.

Dalam jurnal ilmiah berjudul: “Kajian Pertambahan Jumlah Kendaraan Bermotor dan Tingkat Pelayanan Jalan di Kabupaten Karanganyar”, yang ditulis Iim Choirun Nisak, menyebutkan, salah satu penyebab peningkatan jumlah kendaraan, karena kemudahan membeli dengan sistem kredit.

Lewat kredit, orang bisa membeli kendaraan pribadi hanya dengan bayar uang muka yang relatif ringan. Setelah itu, unit sudah bisa dibawa pulang, dan akan menjadi milik pribadi, jika angsurannya sudah selesai dicicil.

Kemudahan inilah yang membuat laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi menjadi tak terbendung.

Sementara, di Kota Pontianak, sampai saat ini belum ada regulasi yang mengatur intervensi soal pembatasan penggunaan kendaraan bermotor.

Akibatnya, transportasi massal tidak hidup. Jalanan yang lebar, dipadati kendaraan pribadi. Lamban laun, kemacetan semakin parah.

Belajar dari Jepang

Mencontoh Jepang, mereka berhasil bebas dari kemacetan dengan pengalihan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan transportasi massal, sebagaimana dilansir dari laman Dephub.go.id.

Pemerintah Jepang, menerapkan pembatasan jumlah operasional kendaraan pribadi, dengan menyesuaikan kondisi eksternal dan pendukung.

Seperti, tempat parkir yang dibuat dengan terbatas, pengenaan biaya parkir yang cukup tinggi, hingga penarikan biaya jalan toll dan harga BBM yang mahal.

Dengan cara itu, masyarakat di Jepang lebih memilih menggunakan transportasi massal, karena lebih murah dan efesien.

Selain itu, pemerintah Jepang sangat ketat dalam menerbitkan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Untuk mendapatkan BPKB dan STNK, pemilik kendaraan bermotor di Jepang harus dapat menunjukkan bukti telah memiliki tempat parkir untuk kendaraan yang akan dibelinya.

Atau setidaknya, telah melakukan sewa kontrak untuk parkir kendaraan yang lokasinya maksimum, sejauh 2 km dari kediaman pemilik dengan biaya sewa yang cukup mahal dibayar per bulan.

Manajemen Pengendalian Lalu Lintas

Selanjutnya, untuk memutus persoalan kemacetan, perlu pendekatan menuju intervensi yang berorientasi pada pengendalian dan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor.

Melansir laman itdp-Indonesia.org, pendekatan ini dikenal sebagai manajemen pengendalian lalu lintas atau Transportation Demand Management.

Strategi TDM yang komprehensif membutuhkan keseimbangan, antara penyediaan opsi bermobilitas, kebijakan disinsentif kendaraan bermotor pribadi, dan kebijakan pengembangan tata guna lahan yang baik.

Beberapa kota telah menerapkan strategi TDM yang komprehensif untuk mengatasi masalah kemacetan. Pada tahun 2007, Stockholm, Swedia, memperkenalkan pajak kemacetan (yang merupakan push strategy) di pusat kota.

Namun kebijakan ini tuai penolakan besar dari masyarakat. Namun penolakan itu berhasil diatasi lewat mitigasi masalah, dengan meningkatkan layanan bus untuk mengakomodasi para pengemudi yang terkena dampak kebijakan pull strategy.

Hasilnya, terjadi peningkatan 10-15% jumlah penumpang bus ke pusat kota Stockholm, dan volume lalu lintas secara keseluruhan menurun sebesar 20%.

Selain itu, pemerintah Swedia mendapatkan sumber pendapatan baru yang kemudian dialokasikan untuk meningkatkan infrastruktur transportasi Stockholm.

Contoh lain dari keberhasilan implementasi kebijakan TDM dapat dilihat di Singapura. Bahkan sebelum skema Electronic Road Pricing (ERP) yang dimulai pada tahun 1998, Singapura telah menerapkan beberapa push and pull strategy untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kotanya.

Skema Lisensi Area/Area License Scheme (ALS) dan Sistem Kuota Kendaraan/Vehicle Quota System dan push strategy lainnya diterapkan masing-masing pada tahun 1975 dan 1990, untuk membatasi penggunaan dan pertumbuhan kendaraan.

Di sisi pull strategy, selain memperluas sistem bus dan kereta (sistem MRT dan LRT), Singapura berhasil menerapkan sistem pembayaran transportasi publik massal yang terintegrasi, untuk menghindari kerumitan saat berpindah dari bus, MRT, dan LRT.

Sistem pembayaran kini telah ditingkatkan beberapa kali, dari pembayaran luring berbasis kartu pada tahun 2000-an, menjadi daring berbasis akun yang dimulai pada tahun 2017.

Di Jakarta, pendekatan TDM telah diterapkan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas melalui beberapa kebijakan yang bersifat push dan pull.

Pada tahun 2003, pemerintah memperkenalkan skema “3-in-1“. Sebuah push strategy di mana hanya kendaraan berpenumpang banyak atau High Occupancy Vehicle, yang diisi setidaknya tiga orang, termasuk pengemudi, diizinkan untuk melewati koridor-koridor tertentu.

Namun, kebijakan ini tidak efektif karena munculnya fenomena joki 3-in-1. Kebijakan ini kemudian diubah menjadi Pembatasan Plat Nomor Ganjil-Genap pada tahun 2016.

Pembatasan ini masih berlaku hingga sekarang. Namun penelitian menunjukkan bahwa kebijakan ini memicu peningkatan jumlah kepemilikan kendaraan dalam satu rumah.

Pemerintah Jakarta sedang merumuskan kebijakan mengenai jalan berbayar, melalui skema ERP sebagai perbaikan dari kebijakan pembatasan ganjil-genap.

Di sisi pull strategy, pemerintah mulai mengoperasikan jalur Bus Rapid Transit (BRT) pertama pada tahun 2004 yang telah diperluas menjadi 251 km.

Jalur MRT pertama beroperasi pada tahun 2019, dan akan diperluas untuk mencakup perpanjangan koridor Utara-Selatan, dan penambahan koridor Timur-Barat.

Pada tahun 2020, Pemerintah Jakarta menerapkan sistem integrasi tarif di bawah JakLingko. Yang menawarkan insentif bagi warga, untuk melakukan perjalanan ke kantor atau berkeliling Jakarta, dengan menggunakan transportasi umum.

Ada pula upaya lain seperti perluasan trotoar dan infrastruktur bersepeda untuk mempromosikan koneksi first-last mile transportasi tidak bermotor dari dan ke titik transit transportasi publik.

Penerapan TDM tidak hanya relevan untuk Jakarta, namun juga untuk kota-kota lain di Indonesia karena kemacetan lalu lintas semakin menjadi masalah perkotaan yang umum.

Belajar dari Jakarta, perluasan jalan, termasuk pembangunan jalan tol dalam kota, bukanlah pendekatan yang efektif dan tepat untuk mengatasi atau mencegah kemacetan lalu lintas.

Tetapi, mengurai kemacetan jangka panjang bisa dilakukan dengan investasi memperbanyak transportasi publik, dan peningkatan aksesibilitas transportasi tidak bermotor. Selain itu, menerapkan langkah-langkah untuk memberikan disinsentif bagi penggunaan kendaraan bermotor pribadi

Misalnya, dengan meningkatkan manajemen ruang dan tarif parkir. Hal itu merupakan cara menuju lalu lintas lebih baik, dan pembangunan transportasi berkelanjutan.(Andi/Abdul).***

Leave a comment