Ibu di Pontianak Buat Surat Terbuka ke Presiden, Minta Keadilan Hukum Atas Kasus Persetubuhan yang Dialami Putrinya!

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

PONTIANAK, insidepontianak.com - Seorang ibu bernama Liem di Pontianak, Kalimantan Barat, membuat surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Surat terbuka itu terkait perkara persetubuhan yang dialami anaknya yang masih berusia 13 tahun. Salah satu kegundahan ibu dari anak tersebut karena hasil visum hilang. Jaksa tak bisa menghadirkan bukti tersebut di Pengadilan Negeri Pontianak.

Liem menyebut, sudah lebih delapan bulan ia berjuang mencari keadilan untuk putri satu-satunya yang berusia 14 tahun itu. Kasus yang menimpa putrinya itu dilaporkan ke Polresta Pontianak 10 Oktober 2022 lalu.

Sebagai wanita, ibu 43 tahun ini merasa tidak  memiliki harapan untuk mendapatkan keadilan. Sebab, setelah kasus yang dialami anaknya masuk tahap persidangan di Pengadilan Negeri Pontianak, Ketua Majelis Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum membacakan hasil visum et repertum.

Namun, betapa terkejutnya Liem mendengar jawaban Jaksa hasil visum tidak dilampirkan dalam berkas perkara itu.

"Seketika dunia terasa runtuh dan gelap gulita, dada saya sesak," kata Liem dikutip dari surat yang ditanda tangani 25 Mei.

Liem mengaku tadinya begitu banyak berharap dengan Jaksa. Apalagi, Jaksa tersebut notabene seorang perempuan dan seorang ibu.

Tapi ternyata Jaksa yang seharusnya membela kepentingan hukum kata Liem tak lebih dari "pohon pisang'. Punya jantung tapi tak punya hati.

"Seolah ingin menghilangkan bukti perbuatan bejat pelaku tanpa sedikitpun memikirkan keadaan anak saya yang belasan kali harus bolak balik ke psikolog sekedar untuk mengobati luka batinnya. Apalagi memikirkan perasaan saya seorang ibu yang setiap hari menangisi keadaan anak saya," katanya.

Liem bercerita, sejak awal membuat laporan polisi, hati kecilnya sudah terluka parah. Sebab, bagaimana mungkin seorang Polwan di Unit PPA bersikap sangat tidak humanis dan tidak profesional.

Liem mengklaim anaknya diperiksa dan di BAP di ruang tertutup tanpa didampingi orang tua. Bahkan, BAP anaknya tidak boleh ia baca. Anaknya pun disuruh tanda tangan sendiri.

"Padahal saat itu anak saya masih berumur 13 tahun. Anak saya sangat ketakutan karena seumur hidup belum pernah menginjakkan kaki di kantor polisi," ceritanya.

Bahkan, kata Liem anaknya sangat tertekan dan tidak mau makan. Tak berhenti di situ, beberapa hari anaknya dibawa ke TKP, dipaksa dan ditekan menjawab pertanyaan yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan objek perkara.

Menurutnya, sikap kepolisian telah membuat anaknya stres dan menangis di TKP. Sejak itu, anaknya tidak lagi mau bicara. Ia lebih banyak diam dan lebih sering mengurung diri.

"Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa karena saat itu saya berpikir mungkin begitulah cara yg harus ditempuh untuk mendapatkan keadilan," ucap Liem.

Liem awalnya berharap mendapatkan keadilan di meja hijau atas kasus yang menimpa anaknya. Namun, ternyata keadilan itu sangat sulit dia jangkau.

Bahkan ketika akhir tahun lalu, ia melaporkan perilaku penyidik polwan yang menangani perkara ini ke Portal Polda Kalbar. Laporan itu tepatnya pada 22 Mei 2023.

Hasilnya, Ia juga tak puas dengan surat jawaban dari Propam. Sebab, Polwan tersebut dianggap tidak terbukti melakukan pelanggaran.

Padahal, kata dia, sangat jelas telah melanggar UU No. 11 Tahun 2012 psl 23(2) yang mewajibkan anak korban dan saksi didampingi orang tua dalam setiap tingkatan pemeriksaan.

Sementara itu, ia juga bercerita mendapat perlakuan seperti penjahat saat membuat laporan. Liem diperiksa lebih dari enam jam.  Tak hanya itu, ia juga diintimidasi, seolah sengaja mau membuat fitnah pada anggota polisi.

"Kami ini orang miskin Bapak Presiden. Tak sedikitpun punya niat untuk memfitnah siapapun apalagi anggota polisi," katanya dalam surat terbuka itu.

"Saya hanya memperjuangkan keadilan untuk anak saya. Dan sekarang saya baru menyadari bahwa Polwan yang memeriksa dan mem-BAP anak saya saat itu, mungkin adalah perempuan siluman yang menyamar menjadi anggota polisi di Unit PPA," lanjutnya.

Liem mengaku hatinya sangat terluka. Ia tak tahu lagi ke mana harus mengadu. Sebab, sejak awal yang minta visum adalah polisi, dan yang mengantar serta mengambil hasil visum juga polisi.

" Yang memberitahu saya ada luka baru dikemaluan anak saya juga polwan yang memeriksa anak saya. Apakah mungkin Polwan yang saya hadapi juga perempuan jadi-jadian yang  menyamar jadi polisi? Hanya Tuhanlah yang maha mengetahui," katanya pasrah.

Sementara Jaksa yang harusnya membela kepentingan hukum juga dinilai Liem  sengaja menghilangkan bukti visum di berkas perkara ini.

" Ini sungguh kezaliman luar biasa Bapak Presiden. Apakah karena kami miskin sehingga kami tidak perlu mendapatkan keadilan? Atau karena kami berpendidikan rendah, dianggap warga negara kelas sepuluh sehingga kami tidak pantas mendapatkan keadilan?" tuturnya.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Kalbar, Kombes Pol Raden Petit Wijaya ketika dikonfirmasi belum memberikan jawaban. (Andi)***

Leave a comment