Episode Menentukan Satu Tahun Perang Ukraina-Rusia

3 Maret 2024 09:28 WIB
Ilustrasi
MOSKOW, insidepontianak.com - Waktu satu tahun untuk saling membunuh ternyata tak melelahkan, baik Ukraina maupun Rusia. Keduanya malah semakin bernafsu menjadi pemenang perang terbesar kedua di Eropa, sejak Perang Dingin itu. Semakin mendekati satu tahun usia perang ini, semakin keras pula retorika yang dimuntahkan para pemimpin negara yang berkepentingan dengan perang yang pecah sejak 24 Februari tahun silam tersebut. Mereka malah berbalas manuver untuk unjuk kekuatan dan dukungan, termasuk terakhir dilakukan Presiden Amerika Serikat Joe Biden, yang menemui Presiden Ukraina Volodymir Zelenskky di ibu kota Ukraina, Kiev, awal pekan ini. Biden ingin unjuk gigi bahwa Amerika masih teguh menyokong Ukraina. Dia berusaha menyemangati sekutu-sekutunya di Eropa bahwa mereka tidak sendirian menghadapi Rusia. Sebelum itu, Zelenskyy melancarkan ofensif diplomatik lintas Atlantik guna mendesak Barat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengirimkan alat perang paling canggih yang mereka miliki. NATO lantas mengindikasikan bakal menyediakan tank Leopard 2 dan jet tempur F-16. Sebaliknya, Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan konsolidasi kekuatan untuk mengefektifkan semua langkahnya di Ukraina, terutama strategi militer. Sementara itu, China yang berada di luar pusaran konflik ini, juga mulai bermanuver lebih jauh dari posisinya semula. Apalagi, mereka dihadapkan kepada konflik dengan AS, dari mulai insiden balon mata-mata sampai krisis Taiwan, yang tidak mustahil memaksa negeri ini tidak lagi netral dalam persoalan Ukraina. Ya, semua pihak seperti dikejar waktu untuk menuntaskan perang ini. Negara-negara NATO yang berada di tepi paling timur blok pertahanan peninggalan Perang Dingin ini menjadi pihak yang paling mengkhawatirkan Rusia. Mereka adalah Polandia, tiga negara Baltik (Lithuania, Estonia dan Latvia), kemudian Ceko dan Slovakia, serta Rumania yang berbatasan dengan Moldova dan Ukraina. Bulgaria dan Hungaria agak jauh dari Rusia, tampaknya tidak sekhawatir Polandia dan negara-negara Baltik. Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban sendiri menjadi satu-satunya pemimpin Barat yang masih menganggap Rusia sebagai mitra. Pengalaman menjadi satelit Rusia semasa era Uni Soviet dan juga masa-masa ketika Rusia sama imperialistisnya dengan negara-negara, seperti Inggris, Prancis, dan Jerman, membuat negara-negara anggota NATO di bagian timur blok itu khawatir Ukraina bukan yang terakhir bagi Rusia. Tidak heran negara-negara itu getol mendorong NATO menceburkan diri dalam perang Ukraina, dengan cara memasok sistem persenjataan canggih ke Ukraina, sampai Rusia tak lagi menjadi ancaman bagi mereka. Selain mereka, ada Finlandia dan Swedia yang bukan anggota NATO, tetapi belakangan mengkhawatirkan sepak terjang Rusia. Finlandia berbatasan langsung dengan Rusia. Pada awal Perang Dunia Kedua, Finlandia berperang dengan Uni Soviet. Setelah berperang selama empat bulan, mereka berdamai, tapi Finlandia kehilangan sembilan persen wilayahnya. Swedia yang sekian lama netral juga melihat potensi provokasi Rusia di Baltik, apalagi Rusia memiliki armada perang di Baltik, termasuk Kaliningrad, yang dijepit Lithuania dan Polandia, serta menjadi tempat Armada Baltik Rusia bermarkas besar. Ternyata, aspirasi negara-negara tepi timur NATO ini kemudian direspons Jerman, Inggris dan Prancis yang menjadi pentolan Eropa. Akan halnya Amerika Serikat, sejak konflik ini mulai, negara ini sudah aktif membantu Ukraina, termasuk mengirimkan perkakas-perkakas perang tercanggih, seperti sistem peluncur rudal presisi dan mobilitas tinggi HIMARS (High Mobility Artillery Rocket System). Berlomba Kerahkan Senjata Tercanggih Kini, NATO di ambang membuka alat-alat perang canggih lainnya untuk Ukraina, termasuk tank Leopard 2 dan F-16. Polandia malah menawarkan stok jet tempur MiG-29 miliknya, tetapi AS menampik penglibatan jet tempur buatan Rusia yang berkemampuan setara F-16 itu. Kini, Ukraina tengah menunggu kedatangan F-16 dan tank tempur utama (MBT) Leopard 2. Bahkan, mereka juga bakal dikirimi tank legendaris MBT M1 Abrams, yang menjadi andalan militer AS. Para pemimpin Barat, seperti Presiden Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Olaf Scholz, dan Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, sudah tidak lagi mengesampingkan opsi mengirimkan senjata canggih berdaya jangkau jauh dan berstandard NATO ke Ukraina. Di Washington, sejumlah anggota parlemen, termasuk dari kubu posisi Partai Republik, bahkan berjanji meratifikasi pengiriman F-16 dan rudal ATACMS. MGM-140 ATACMS (Army Tactical Missile System) adalah rudal darat ke darat, dengan jangkauan 350 km dan sudah teruji dalam Perang Teluk, serta berbagi perang lainnya. Peluru kendali ini bisa ditembakkan dari sistem peluncur roket berganda (MLRS) dan sistem peluncur roket HIMARS. Situasi ini membuat murka Rusia, apalagi mereka tengah menemukan momentum perang sejak dua atau tiga bulan terakhir. Rusia menganggap pengerahan alat perang NATO ke Ukraina sebagai pernyataan konfrontasi terbuka dengan mereka. Ini karena sistem kesenjataan Barat itu bisa membuat pasukan Rusia di mana pun di Ukraina menjadi rentan. Alat-alat perang ini membuat Ukraina bisa menyerang jauh di belakang garis pertahanan Rusia dan bahkan wilayah Rusia sendiri. Tak mau kalah oleh gertakan NATO, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu pada November 2022 menyatakan Rusia mesti menggunakan sistem persenjataan canggihnya untuk mematikan perlawanan Ukraina. Namun sejauh ini Rusia belum menggunakan sistem persenjataan paling canggihnya dalam tingkat luas, termasuk jet tempur siluman Su-57 yang menjadi lawan jet siluman F-22 buatan AS. Rusia juga memiliki rudal hipersonik Kinzhal yang merupakan rudal tercepat di dunia yang tak bisa dicegat oleh alat perang antirudal mana pun. Sejumlah kalangan di Barat menilai sistem persenjataan canggih ini belum siap benar untuk digunakan dalam peperangan. Rusia juga terbatas dalam mengeksploitasi kemampuan tempur lautnya. Mereka tak bisa mengerahkan armada-armada laut besarnya di Arktika, Baltik, dan Pasifik untuk membantu armada mereka di Laut Hitam, yang menjadi satu-satunya lautan yang berbatasan dengan Ukraina. Ini terjadi karena Turki yang anggota NATO dan penjaga Selat Bosphorus dan Dardanelle tak akan mengizinkan armada perang Rusia melewati kedua selat yang masuk wilayah Turki dan menjadi satu-satunya koridor ke Laut Hitam itu. Kalaupun armada laut Rusia masuk Laut Tengah, maka itu bakal terpantau jelas, mengingat harus melewati dulu Terusan Suez jika datang dari Pasifik dan Selat Gibraltar jika berasal dari Armada Baltik dan Armada Utara di Arktika. Sulit Tapi Tak Mustahil Menghadapi keterbatasan-keterbatasan geografis dan sistem persenjataan lebih modern, Rusia melancarkan taktik perang "banjir manusia" dengan mengerahkan sebanyak mungkin tentara. Mereka pernah melakukannya dalam perang melawan Nazi (Jerman) pada Perang Dunia Kedua. Dalam beberapa hal, China melakukan hal sama pada Perang Korea pada 1950. Taktik itu diawali dengan mobilisasi wajib militer yang bahkan sampai merekrut narapidana. Pihak militer Ukraina dan Barat menilai tentara wajib militer, khususnya narapidana, dijadikan umpan peluru di garis depan perang dan menyibukkan perlawanan Ukraina yang sekaligus pembuka jalan untuk ofensif lebih besar dari tentara reguler. Rusia efektif menjalankan strategi ini, namun gerak maju pasukan mereka tak terlalu signifikan. Sekalipun demikian, Rusia diyakini berusaha melancarkan lagi ofensif ke bagian tengah Ukraina dan selatan sampai sejauh Odesa, dan bahkan ke utara di Kharkiv. Satu tahun invasi mereka menjadi momentum untuk mencatat kemajuan-kemajuan besar di medang perang. Ukraina dan Barat menangkap gelagat ini. Mereka merasa tak bisa terus mengandalkan konfrontasi jarak dekat untuk menangkal pasukan Rusia. Untuk itulah Ukraina memerlukan jet tempur dan tank bermobilitas tinggi yang bisa memukul mundur dan memutus jalur pasokan Rusia di garis depan ke garis belakang, sekaligus menjadi pendukung untuk kontra-ofensif pasukan Ukraina. Dihadapkan kepada upaya Ukraina mendapatkan jet tempur dan tank serta alat-alat perang lainnya yang lebih canggih dan berdaya jangkau tinggi, Rusia tak memiliki pilihan, selain kembali mengancam Barat dengan perang nuklir. Walaupun Vladimir Putin hanya mengatakan negaranya menangguhkan partisipasi dalam START (Strategic Arms Reduction Treaty atau Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis), tetapi ini sudah dianggap sebagai indikasi Putin siap mengambil opsi apa pun jika perang kian dalam melibatkan Barat. Saat bersamaan, situasi krisis antara China dan AS, termasuk karena insiden balon mata-mata dan masalah Taiwan, bisa mengubah posisi sikap China dalam perang Ukraina menjadi berubah. Tak tertutup kemungkinan China akhirnya berpihak. Jika semua itu terjadi, maka satu tahun perang di Ukraina bisa menjadi titik baru untuk konflik dan perang yang lebih luas. Namun, kadang kala situasi yang sepertinya seimbang ini malah mendorong upaya perdamaian menjadi kian intensif, lebih karena ongkos perang yang sudah terlalu mahal dan dampak buruk perang kepada stabilitas kawasan dan semesta. Jika yang terakhir ini yang terjadi, maka akan ada konsesi-konsesi besar dari Ukraina dan Rusia yang sangat sulit diberikan, tetapi bukan mustahil terjadi.(Antara)***

Leave a comment