Banjir Sintang, Bukti Carut Marut Pengelolaan Lingkungan, Mitigasi dan Adaptasi Bencana (Bagian II)

16 November 2021 12:47 WIB
Ilustrasi
Banjir Sintang memberi pukulan telak, betapa pemerintah tidak memiliki konsep pembangunan berwawasan lingkungan. Tak ada mitigasi dan adaptasi bencana. Ada bukti carut marut pengelolaan lingkungan, terlihat pada peristiwa itu. Banjir Sintang dan sebagian besar wilayah di perhuluan Kalbar. Banjir Sintang menegaskan, tidak ada upaya mitigasi dan adaptasi bencana dalam pemerintahan Gubernur Kalbar Sutarmidji. Sebab, dua bulan sebelum bencana, BMKG telah memberikan peringatan terhadap hal itu. Tapi pemprov Kalbar terlihat abai. Dampak Alih Fungsi Lahan Dampak ikutan adanya perkebunan kelapas sawit yang dirasakan masyarakat secara langsung adalah, sistem ketahanan pangan masyarakat mengalami perubahan ke arah makin rentan, kehilangan sumber air, rusaknya sumber daya air, semakin seringnya bencana banjir dan kebakaran, serta kesehatan masyarakat menjadi rentan. Pada 1969-1978, mata pencaharian masyarakat sepenuhnya diperoleh dari kawasan hutan, sungai dan rawa. Pada tahun 1980, masyarakat mulai membudidayakan tanaman karet. Pada 1984, warga mulai bercocok tanam padi. Perubahan dimulai sejak 2006, banyak masyarakat menanam kelapa sawit, ketika perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk. Sejak 2006, sistem pangan dan livelihood masyarakat berganti drastis. Pola pertanian tradisional telah berganti menjadi pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Masyarakat jadi buruh perkebunan. Secara keseluruhan, masyarakat sejak 2007-2015, sering menghadapi situasi dampak perubahan. Hal tersebut mulai terasa dengan suhu yang semakin meningkat dan semakin kering. Musim kemarau yang semakin panjang (mulai Mei hingga Oktober), berdampak pada menyusutnya air sungai, sulit dapat air bersih, gagal panen, transportasi sungai jadi sulit, dan harga kebutuhan pokok meningkat. [caption id="attachment_6306" align="alignnone" width="606"]Banjir SIntang Banjir Sintang merendam ribuan rumah mengakibatkan orang mengungsi dari kediaman rumah dan tempat tinggal mereka.[/caption] Data perubahan di atas dapat diekstrak dari data BPS, sebagai contoh komposisi penggunaan lahan oleh perusahaan sawit sebesar 8-9.9 persen, sedangkan penggunaan lahan oleh masyarakat untuk berbagai penggunakan berbasis lahan sebesar 40-48 persen. Banjir Menghadang Sejarah alih fungsi lahan dan eksploitasi hutan, berimbas pada daya dukung kawasan dan merusak sistem hidrologi. Pembukaan lahan juga berimbas pada sedimentasi dan pendangkalan di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Kondisi itu membuat air yang semula tertampung dalam penampang aliran sungai meluber, akibat tak mampu lagi menampung air. Akibatnya, air meluap dan terjadi banjir. Di Kapuas Hulu, 80 persen wilayah merupakan hutan. Selain itu, terdapat Danau Sentarum seluas 32.000 hektar. Kawasan danau menjadi penampung dan penyeimbang air. Fungsi danau layaknya bejana timbangan. Bila air Sungai Kapuas meluap, maka Danau Sentarum menampung air tersebut, sehingga potensi banjir secara alami bisa teratasi. Demikian juga sebaliknya. Bila Danau Sentarum sudah terlalu penuh air, Sungai Kapuas mengalirkan air dari Danau Sentarum, sehingga kawasan sekitar danau tidak kebanjiran. Danau Sentarum menjadi buffer zone. “Di Kapuas Hulu, ada Danau Sentarum yang berfungsi menyerap air. Kalau air sudah tak terserap, mengalir ke hilir. Dan, Sintang pasti banjir,” kata kata Anas Nasrullah, pemerhati lingkungan, sehari-hari tinggal di Sintang kepada Insidepontianak.com di Pontianak, Jum’at (12/11/2021). Wilayah Kabupaten Melawi sebagian besar juga hutan. Sungai Melawi, Sungai Pinoh, Mentatai dan sungai besar lainnya mengalirkan air menuju Nanga Pinoh kemudian Kabupaten Sintang. Aliran airnya, bertemu dengan Sungai Kapuas di Kota Sintang. Pertemuan dari beberapa sungai itu, membuat Kota Sintang, rentan terjadinya banjir. Apalagi alih fungsi lahan di sebagian besar Kabupaten Sintang, telah mengambil sebagian besar wilayah yang menjadi resapan air dan hutan rawa. ”Hanya wilayah Banning saja yang tersisa sebagai wilayah hijau. Semua sudah ditanami sawit. Apalagi di wilayah sekitar Kelam,” kata Sesep, aktivis lingkungan di Kalbar. Tak hanya alih fungsi lahan menjadi sawit atau warisan HPH, penyebab banjir, salah satunya karena sedimentasi di pertemuan-pertemuan anak sungai dan sungai besar. Contoh di Nangah Pinoh dan di Sintang. Sedimentasi terjadi karena adanya aktivitas memindahkan material dari satu titik ke titik lain atau dari darat ke badan sungai dari praktek penambangan sepanjang aliran sungai. “Penambangan sepanjang sungai, memindahkan material dari titik satu ke titik lain, mengubah aliran sungai, mengubah arus sungai sehingga dibeberapa titik sempadan sungai longsor tergerus air yang senantiasa berubah, hingga ada yang terbawa arus ke hilir dan bertemu di muara sungai,” kata Anas, menimpali. Tak heran bila, pertemuan dua sungai tersebut, tumpukan pasir semakin banyak. Dapat dilihat ketika musim kemarau. “Sungai tak bisa menampung volume air, akibat sedimentasi,” kata Anas. Banjir tahun ini, juga menyisakan satu peristiwa langka. Tak pernah terjadi sebelumnya. Yaitu, banjir yang terjadi pada 23-25 Oktober 2021, di Desa Kayu Bunga, Kecamatan Belimbing Hulu, Kabupaten Melawi. Desa itu merupakan area perbukitan. Banjir dan longsor menyebabkan sebagian besar rumah warga terdampak. Hanya bangunan gereja dan kantor desa, tak terdampak banjir karena letaknya tinggi. Setelah wilayah Melawi banjir, air segera mengalir ke Kota Sintang dan sekitarnya. [caption id="attachment_6328" align="alignnone" width="635"]Banjir di Sekadau Dua unit truk terperosok di tengah kondisi jalan yang banjir di Kabupaten Sekadau. (Sumber: Facebook Sekadau informasi).[/caption] Akibat Degradasi Hutan Peningkatan curah hujan akan meningkatkan kejadian banjir dan tanah longsor, diperparah tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan. Kejadian ini sering ditemukan antara bulan November - Maret setiap tahunnya. Menurut laporan ADB tahun 2015, peringkat kerentanan untuk sebagian besar Kalimantan Barat adalah Sedang (laporan penilaian Kerentanan Perubahan Iklim BIMP-EAGA, ADB pada April 2015). Berdasarkan Perpres Nomor 61 Tahun 2011, tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas (RAN-GRK) telah menetapkan Provinsi Kalimantan Barat, sebagai salah satu provinsi yang rawan/medium (mempertimbangkan Indeks Pajanan dan Sensitivitas-IKS dan Indeks Kemampuan Adaptasi- IKA). Status kerentanan ini diperkuat oleh Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perubahan Iklim - KLHK (2015), menyebutkan 1.967 desa di Kalimantan Barat (94,7 persen), rentan terhadap perubahan iklim. Lebih dari 264 desa, memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi, termasuk desa di Melawi, Sintang dan Ketapang. Warga Terjebak Banjir Hampir sebulan ini, Kota Sintang masih tergenang banjir. Banjir pertama menggenangi Kota Sintang, 18 Oktober 2021. Banjir awalnya terjadi di sekitar wilayah pinggiran sungai. Seperti, Sungai Yana, Banning Kota, Mengkurai, Mesuka, Sungai Durian, Sungai Melawi, Kelurahan Ladang, Kelurahan Nalai, Keraton, Menyumbung Tengah, Pulak Jaya, dan lainnya. “Pada 24 Oktober, debit air mulai naik. Masuk ke jalan protokol, seperti Jalan Lintas Melawi dan PKP Mujahidin,” kata Agung Gumiwang, mahasiswa S2 Untan, warga Desa Sungai Nyana di Kota Sintang. Tanggal 28 Oktober, air mulai surut. Tapi, tidak sampai kering. Pada 29 Oktober, pukul 2 dini hari, air mulai naik. Kondisi itu berlangsung hingga empat jam. Hingga 1 November 2021, kondisi air semakin menggenangi wilayah Kota Sintang. Mulai 5 November, pekarangan rumahnya di Jalan Raya Sintang menuju Kapuas Hulu, mulai tergenang air. “Seumur hidup di Sintang, baru lihat belakang rumah tergenang air,” kata Agung. Agung menenggarai, meski tahun 1963, pernah terjadi banjir besar, tapi tahun 2021, merupakan banjir tertinggi di Sintang. Kalau melihat dari proses banjir, agak membingungkan. Kenapa? Karena debit air di hulu (red, Kapuas Hulu) sudah surut. Cuma, Kota Sintang terdapat muara sungai besar. Yaitu, Sungai Kapuas dan Melawi. Saka Tiga, depan rumah Dinas Bupati Sintang, menjadi pertemuan dua sungai tersebut. Di Kapuas Hulu tidak banjir. Di Melawi banjir, tapi tidak tinggi. Banjir terbesar di Sintang. Kalau dilihat dari masyarakat terdampak banjir, mereka yang terkena banjir langsung atau tidak kena banjir, tetap terdampak. Sebab, akses jalan utama, seperti Jalan Melawi dan PKP Mujahidin terputus. Jalan PKP Mujahidin untuk wilayah perkantoran juga terendam. Di jalan ini ada kantor Bupati Sintang. Kantor DPRD Sintang, dan lainnya. Sementara Jalan Lintas Melawi, adalah jalur bisnis di Kabupaten Sintang. [caption id="attachment_6309" align="alignnone" width="608"]Kunjungan Mensos Menteri Sosial, Tri Rismaharini tinjau korban banjir di RT 26, Desa Liku, Kelurahan Beringin, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Rabu (3/11/2021). Di sana ada 139 Kepala Keluarga (KK) yang terdampak banjir dalam beberapa hari terakhir. (Ist).[/caption] Selama banjir, ada kunjungan dari Wakil Gubernur Kalbar, Ria Norsan, Kamis (28/10/2021). Ia membawa 17 ton beras. Gubernur Kalbar, Sutarmidji, turut melihat banjir, Selasa (2/11/2021). Ia bawa 80 ton beras. Informasinya sudah disebarkan. Ada kunjungan dari Menteri Sosial, Risma, Rabu (3/11/2021). Mensos menyerahkan bantuan Rp 653 juta untuk penanganan banjir. Kepala BNPB, Ganip Warsito mengunjungi Sintang, Selasa (9/11/2021). Ganip menyerahkan bantuan Dana Siap Pakai (DSP) senilai Rp 1,5 miliar, guna percepatan penanganan banjir yang melanda empat kabupaten di Kalbar. Sebanyak Rp 500 juta, mendukung penanganan banjir di Kabupaten Sintang. Rp 500 juta diberikan kepada Kabupaten Melawi. Rp 250 juta untuk Kabupaten Sekadau. Rp 250 juta untuk Kabupaten Sanggau. Di Kota Sintang, warga kurang merasakan kunjungan itu. Ganip tak melihat banjir yang sesungguhnya. Ia hanya naik tronton, dan melihat banjir di sekitar Jalan Lintas Melawi. Padahal, dampak terbesar banjir, ada di Kelurahan Ladang, Kelurahan Alay, Keraton Menyumbung Tengah, dan Tulak Jaya. Daerah itu paling parah banjirnya. Di Kecamatan Tempunak, dampak banjir lebih terasa. Tempunak lebih rendah dari Kota Sintang. “Makanya, syok sekali banjir di pusat kota, sampai setinggi itu,” kata Sri Galuh, mahasiswi S2 Untan. Kegiatan di kampung lumpuh. Tanaman karet terendam. Banjir sekitar 4 meteran. Ada yang lebih. Galuh pertama kali merasakan banjir besar seperti sekarang ini. Ada tiga pos pengungsian di desanya. Warga membuat panggung dari kayu dan papan. Harta benda diletakkan di panggung tersebut. Sedangkan orang rumah mengungsi ke pos pengungsian. “Untuk bantuan, alhamdulillah sudah. Tapi, rata-rata dari para donatur mandiri. Dari pemerintah belum ada. Tapi, dari instansi seperti TNI/Polri, sudah ada,” kata Galuh. Banjir membuat listrik mati total. Jaringan komunikasi pun tersendat. Untuk mendapatkan sinyal, warga harus menumpang ke Puskesmas. Bencana banjir membuat sebagian warga yang terdampak mulai putus asa. Bagaimana tidak? Harta benda sudah habis terendam. Semangat pun perlahan berkurang. Sementara genangan banjir terus naik. "Semangat dah habes. Sisa bersyukur diberi sehat saja kami di sini (Sintang),” ucap Wati, warga Kelurahan Alay, Kecamatan Sintang. Perempuan 34 tahun itu, sudah hampir sebulan merasakan banjir. Terparah sejak dua pekan terakhir. Rumahnya tenggelam habis. Akibatnya, dia sekeluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang telah disediakan pemerintah. Hari-hari makan nasi boks. Bantuan dari berbagai lembaga yang terus berdatangan. Banjir itu membuatnya betul-betul lelah. Sebab tak ada tanda, banjir segera surut. Doa hanya bisa dipanjatkan. Agar bencana ini berlalu segera. “Sudah sebulan kami di sini merasakan banjir. Saya dan keluarga sekarang mengungsi,” ujarnya. Kini, Kota Sintang berubah seperti lautan. Air menggenang di sepanjang jalan, hampir sebulan lamanya. Kendaraan darat, seperti sepeda motor dan mobil, tak terlihat lagi melintas di jalan protokol kota. Di Kabupaten Melawi, banjir juga terjadi. Restu Purnadi, warga di Kecamatan Tanah Pinoh, biasa disebut Kotabaru, menceritakan bencana banjir yang dialami. “Kalau untuk di Kotabaru sendiri, jarang banjir berlangsung lama. Paling lama tiga hari. Itu pun airnya tak terlalu besar,” kata Restu, mahasiswa S2 Untan. Biasanya, banjir terjadi karena hujan di hulu sungai. Pada hari pertama, banjir bisa setinggi satu hingga satu setengah meter. Kondisi itu untuk rumah di daerah dekat sungai. Warga bergotong royong menyelamatkan harta benda. “Di kampung-kampung, pasti rasa solidaritasnya masih tinggi,” kata Restu. Banjir seperti ini, jarang sekali bantuan dari pemerintah. Kalau banjir besar susah mau dilewati dari rute sungai bagi pemerintah. Terakhir, banjir besar pada tahun 2018, membuat tiga jembatan gantung terputus karena banjir. “Akses jalan warga berubah menjadi sampan kecil. Sampan itulah yang digunakan warga untuk beraktivitas, urus segala keperluan,” kata Restu. Di Kabupaten Kapuas Hulu, Berdasarkan data sementara BPBD Kapuas Hulu, ada 8.714 jiwa (2.603 KK) terdampak bencana banjir. Kepala Pelaksana BPBD Kapuas Hulu, Gunawan menyatakan, warga terdampak banjir berada di tujuh kecamatan. Yaitu, Silat Hilir, Suhaid, Selimbau, Jongkong, Batang Lupar, Badau, dan Semitau. “Sedangkan desa yang terdampak banjir, sebanyak 41 desa. Ketinggian debet air kurang lebih satu sampai tiga meter setiap desa,” ujarnya, Kamis (11/11/21). Ada 42 fasilitas umum terdampak banjir di Kabupaten Kapuas Hulu. “Sekali lagi, ini adalah data sementara. Bisa bertambah karena kondisi banjir kita di Kapuas Hulu masih berlangsung, ditambah lagi curah hujan yang cukup tinggi, beberapa hari terakhir ini,” ucapnya. Berdasarkan prakiraan BMKG, kerentanan banjir masih akan terjadi hingga Februari 2022. Curah hujan masih akan tinggi, siiring perubahan iklim La Nina. Berdasarkan laman id.wikipedia.org, La Nina merupakan fenomena alam, yang dikendalikan oleh perbedaan suhu muka air laut. Selama fenomena La Nina berlangsung, suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik yang dekat atau berada di garis khatulistiwa mengalami penurunan sebanyak 3 derajat hingga 5 derajat celsius dari suhu normal. Kemunculan fenomena La Nina ini, biasanya berlangsung paling tidak lima bulan Karena itu, ancaman banjir masih panjang. Pemerintah harus membuat skema mitigasi yang tepat. Terutama skema penyaluran bantuan logistik untuk warga terdampak. Agar ketersediaan kebutuhan sembako tidak tersendat. Penanganan dampak banjir mesti dilakukan bersama.(Muhlis Suhaeri)***

Leave a comment