Mengenal Alat Tangkap Ikan bernama Meheng, Cara Masyarakat Desa Sekabuk Lestarikan Kearifan Lokal

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi

MEMPAWAH, insidepontianak.com - Kalimantan Barat salah satu provinsi di Indonesia, yang berada di Pulau Kalimantan, dengan ibu kota atau pusat pemerintahan berada di Kota Pontianak.

Luas wilayah Provinsi Kalbar adalah 147.307,00 km² (7,53 persen luas Indonesia). Kalbar merupakan provinsi terluas keempat di Indonesia setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah.

Daerah Kalbar termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki provinsi “Seribu Sungai”. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang di antaranya dapat dan sering dilayari.

Melihat jumlahnya yang banyak, sungai memegang peranan penting bagi masyarakat di Kalbar. Berbagai kegiatan, seperti transportasi, sumber air, dan kegiatan ekonomi, semua dilakukan masyarakat dengan bergantung pada aliran sungai.

Setiap sungai di beda daerah memiliki kearifan lokal dalam menangkap ikan. Seperti yang ada di Desa Sekabuk, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Masyarakat disana memiliki alat tangkap ikan bernama Meheng, sebuah alat tangkap ikan berbentuk bendungan dari kayu, rotan, bambu, tanaman merambat dan batu yang terdiri dari kepala dan ekor, kemudian terdapat pondok diatas sungai yang berfungsi untuk istirahat dan mengumpulkan ikan.

Namun kini, Meheng sudah jarang ditemukan bagaikan benda langka bagi masyarakat Kalbar.

Salah satu masyarakat Desa Sekabuk, Suparmin (72) yang merupakan pemilik sekaligus pelestari alat tangkap ikan tradisional meheng, menuturkan meheng merupakan alat penangkap ikan tradisional yang dapat dikatakan sangat langka, khas suku Dayak.

"Meheng dulunya hanya dikenal oleh masyarakat Dayak, khususnya beberapa desa yang ada dibantaran Sungai," kata Suparmin saat ditemui di pondok meheng pribadi miliknya didaerah bantaran sungai padang, Rabu (04/10/2023).

Dalam pengoperasiannya, meheng berbeda dengan alat penangkap ikan lainnya, dimana salah satu cara kerja meheng, yakni digunakan tidak berjalan, melainkan berdiam tidak bergerak. Biasanya, ketika air sungai meluap/banjir ikan ataupun udang akan banyak yang masuk ke dalam meheng.

"Bahan pembuatan meheng berbahan kayu, bambu, rotan, tanaman merambat dan batu. Maka itu, cara kerja pemggunaannya berbeda ketika menangkap ikan," terangnya lagi.

Lelaki paruh baya ini, menceritakan, seingatnya orang yang pertama kali membuat meheng disini (Desa Sekabuk) bernama pak Anen (nama panggilan) sekitar tahun 80an. Dan, imbuh dia, karena dulunya itu saya sering pergi ke meheng kepunyaan pak Anen sambil bantu-bantu beliau untuk panen hasil tangkapannya, lalu terbesit di benak saya untuk membuat meheng pribadi pada tahun 2000.

"Awal mula mendirikan/membuat meheng saya kongsi (berpatungan) dengan tiga orang rekanan yang sama-sama hobi mencari ikan. Namun, kata Suparmin, seiring berjalannya waktu tinggallah saya sendirian yang mengelola meheng ini, dikarenakan dua rekan saya itu punya kesibukannya masing-masing," kisahnya.

Kata Pak Sam sapaan akrabnya, ada ritual khusus sebelum membuat/mendirikan meheng karena tidak boleh sembarangan, pada ritual itu kita meminta kepada yang memberikan kehidupan agar terhindar dari marabahaya dan diberikan hasil melimpah.

Selama menggeluti usaha meheng, dirinya mengaku dapat menyekolahkan anak-anaknya, membeli perabotan rumah tangga, mencukupi kebutuhan keluarga, dan yang paling terpenting itu lauk pauk terutama ikan saya tidak perlu beli.

"Sejak tahun 2000 hingga sekarang ini, sudah banyak hasil yang saya dapatkan dari meheng ini," tuturnya.

Ia berharap keberadaan meheng bisa terus dijaga dan dilestarikan, karena meheng merupakan kearifan lokal dalam menangkap ikan suku dayak, terlebih lagi keberadaan meheng ini semakin hari semakin sedikit jumlahnya akibat perkembangan zaman dan kerusakan lingkungan.

"Karena keberadaan meheng sangat bergantung dengan kelestarian ekosistem sungai dan hutan," pungkas Suparmin. ***

Leave a comment