KPK Sita Aset Bambang Kayun Senilai Rp12,7 Miliar

3 Maret 2024 09:29 WIB
Ilustrasi
JAKARTA, insidepontianak.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita aset senilai Rp12,7 miliar yang diduga milik tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi AKBP Bambang Kayun. Aset dimaksud, di antaranya berbentuk obligasi, sejumlah uang yang tersimpan dalam beberapa deposito dan rekening bank atas nama BK maupun orang kepercayaannya dan juga rumah. “Nilai aset sekitar Rp12,7 miliar," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri di Jakarta, Rabu (3/5/2023). Ali mengatakan proses penyitaan tersebut adalah bagian dari proses pemulihan aset hasil korupsi yang selanjutnya diharapkan dapat dirampas untuk negara. "Penyitaan ini merupakan bagian dari aset recovery dari uang yang dinikmati tersangka dan berharap dalam proses pembuktian di persidangan, majelis hakim dalam putusannya dapat merampas untuk negara," ujarnya. Sebelumnya, KPK telah menyatakan pemberkasan perkara kasus AKBP Bambang Kayun telah selesai dan siap untuk disidangkan. Ali mengatakan isi berkas perkara dipastikan lengkap karena telah memenuhi persyaratan dari sisi formil dan materiil. KPK mengumumkan Bambang Kayun (BK) sebagai tersangka pada 3 Januari 2023. BK merupakan Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri. Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan bahwa kasus itu Bermula dari adanya pelaporan ke Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan pemalsuan surat dalam perebutan hak ahli waris PT ACM dengan pihak terlapor Emilya Said (ES) dan Herwansyah (HW). Atas pelaporan tersebut, ES dan HW melalui rekomendasi salah seorang kerabatnya kemudian diperkenalkan dengan BK yang saat itu dimutasi sebagai Kepala Subbagian Penerapan Pidana dan HAM Bagian Penerapan Hukum pada Biro Bantuan Hukum Divisi Hukum Mabes Polri untuk berkonsultasi. Sebagai tindak lanjut, sekitar Mei 2016 bertempat di salah satu hotel di Jakarta dilakukan pertemuan antara ES dan HW dengan tersangka BK. Dari kasus yang disampaikan ES dan HW itu, KPK menduga BK siap membantu dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang dan barang. BK lalu memberikan saran, di antaranya untuk mengajukan surat permohonan perlindungan hukum dan keadilan terkait adanya penyimpangan penanganan perkara yang ditujukan pada Kepala Divisi Hukum Mabes Polri. Menindaklanjuti permohonan tersebut, BK lalu ditunjuk sebagai salah satu personel untuk memverifikasi, termasuk meminta klarifikasi kepada Bareskrim Polri. Sekitar Oktober 2016, dilakukan rapat pembahasan terkait perlindungan hukum atas nama ES dan HW di lingkup Divisi Hukum Mabes Polri. Tersangka BK kemudian ditugaskan untuk menyusun kesimpulan hasil rapat yang pada pokoknya menyatakan adanya penyimpangan penerapan hukum termasuk kesalahan dalam proses penyidikan. Dalam perjalanan kasus itu, ES dan HW kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri. Terkait penetapan status tersangka tersebut, atas saran lanjutan dari BK maka ES dan HW mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan saran tersebut, tersangka BK menerima uang sekitar Rp5 miliar dari ES dan HW dengan teknis pemberiannya melalui transfer bank menggunakan rekening dari orang kepercayaannya. Selama proses pengajuan praperadilan, KPK menduga BK membocorkan isi hasil rapat Divisi Hukum untuk dijadikan bahan materi isi gugatan praperadilan sehingga hakim dalam putusannya menyatakan mengabulkan dan status penetapan tersangka tidak sah. Pada Desember 2016, BK juga diduga menerima satu unit mobil mewah yang model dan jenisnya ditentukan sendiri oleh tersangka BK. Sekitar April 2021, KPK menyebut ES dan HW kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri dalam perkara yang sama. KPK menduga BK kembali menerima uang hingga berjumlah Rp1 miliar dari ES dan HW untuk membantu pengurusan perkara dimaksud sehingga keduanya tidak kooperatif selama proses penyidikan hingga akhirnya ES dan HW melarikan diri dan masuk dalam DPO penyidik Bareskrim Mabes Polri. Selain itu, KPK juga menduga BK menerima uang secara bertahap yang diduga sebagai gratifikasi dan berhubungan dengan jabatannya dari beberapa pihak yang jumlah seluruhnya sekitar Rp50 miliar. Atas perbuatannya, tersangka BK disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (Antara)***

Leave a comment