Sejarah Rampogan Macan Jawa Tengah, Tradisi Antroposentris Manusia yang Merampok Punah Harimau Jawa

8 November 2022 15:28 WIB
Ilustrasi

Insidepontianak.com - Desa Tempur, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah digegerkan kehadiran harimau Jawa di permukiman warga.

Selama sebulan terakhir 2 ekor kambing ternak, seekor ayam jago, dan kucing peliharaan mati dimangsa hewan buas yang diduga harimau.

Desa Tempur, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah berada di kaki Gunung Muria yang diyakin masih ditinggali harimau Jawa.

Sebelumnya harimau Jawa dilaporkan muncul di hutan rakyat Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, Wonogiri, dan Pacitan.

Penampakan harimau Jawa di hutan rakyat Surade bahkan didukung temuan sample bulu yang diduga milik "maung Jawa".

Tapi hingga kini belum ada kepastian apakah sampel bulu itu milik harimau Jawa atau macan kumbang dan macan tutul yang memang masih bisa dijumpai di sejumlah hutan di Pulau Jawa.

Belum ada satupun laporan penampakan harimau yang dapat diverifikasi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).

International Union for Conservation Nature, secara resmi mengumumkan harimau Jawa terakhir terlihat di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

Sekitar tahun 1976 harimau Jawa masih bisa ditemui di Meru Betiri meskipun jumlahnya sangat sedikit.

Semenjak itu harimau Jawa dilaporkan semakin menghilang hingga akhirnya dinyatakan punah pada awal tahun 1980-an.

Tradisi Rampogan Macan

Berkurangnya jumlah harimau Jawa terutama disebabkan perburuan yang massif sekitar awal abad ke-17.

Rampogan Macan yaitu pertunjukkan duel macan dengan kerbau, umum dijumpai pada perayaan hari besar di Jawa Tengah pada era Kerajaan Mataram.

Pada masa pemerintahan Amangkurat II, Rampogan Macan dianggap sebagai pertunjukan yang sakral di Keraton Kartasura.

Raja yang memindahkan pusat pemerintahan Mataram dari Plered, Yogyakarta ke Kartasura, Surakarta ini dikenal haus kekuasaan.

Kisah Amangkurat II yang memiliki ambisi besar menjadi raja paling kuat dan berpengaruh ini banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah.

Amangkurat II yang berkuasa 1677 hingga 1703, sering menggelar pertunjukkan Rampogan Macan untuk menyambut tamu agung seperti Gubernur Jendral Belanda.

Kedekatan Amangkurat II dan pemerintahan penjajah Belanda, konon digambarkan dengan kesukaan Sang Raja mengenakan seragam Angkatan Laut Belanda.

Saat pemerintahan kolonial Belanda jatuh ke tangan Inggris tahun 1811-1816, tradisi Rampogan Macam masih dipelihara.

Sir Thomas Stamford Raffles bahkan berpendapat, bahwa pertarungan kerbau dan harimau melambangkan relasi kekuasaan pemerintah penjajah dengan bangsa yang dijajah.

Kerbau menurut Raffles menggambarkan orang-orang Jawa yang dijajah. Sedangkan harimau mewakili orang-orang Eropa sebagai bangsa penguasa.

Disarikan dari penelitian Muhammad Rosyid Ammar Murthadi dalam Jurnal Pendidikan Sejarah, tradisi Rampogan Macan mencerminkan karakteristik bangsa Jawa masa itu.

Menurut Jacob Cornelis Van Leur, Rampogan Macan menggambarkan masyarakat Jawa yang dikuasai baik secara politik, sosial, dan budaya oleh Inggris.

Rampogan Macan dipandang secara simbolis sebagai perjuangan politik antara pihak VOC dengan pemerintahan lokal di Jawa.

Perburuan dan Susutnya Habitat Harimau

Meluasnya tradisi Rampogan Macan hingga ke Jawa Timur, meningkatkan jumlah perburuan harimau Jawa di habitat aslinya.

Selain untuk dijadikan objek Rampogan Macan, harimau Jawa juga diburu sebagai hewan koleksi atau diambil kulitnya.

Harga jual kulit harimau yang mahal di pasaran Eropa mendorong perburuan macan Jawa secara besar-besaran.

Pembukaan lahan hutan di Jawa pada awal tahun 1800-an untuk perkebunan, menjadi masalah lain yang menyebabkan punahnya harimau Jawa.

Konflik antara harimau dan manusia juga memicu perburuan semakin massif. Hingga awal tahun 1940-an, populasi harimau Jawa diperkirakan tinggal 200-300 ekor.

Pada tahun 1950-an jumlah harimau Jawa diperkirakan tinggal tersisa 25-an ekor. Di kompleks Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta harimau Jawa konon masih sering hingga tahun 1970-an.

Menurut teori Antroposentris, tradisi Rampogan Macan menunjukkan ego manusia sebagai spesies paling pusat dan paling penting.

Ego itu kemudian yang menyebabkan harimau Jawa punah dari tlatah Jawa.

Mungkinkah laporan penampakan harimau di Desa Tempur, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah menunjukkan kembalinya penguasa hutan Jawa?***

Tags :

Leave a comment