Pengamat Kritik Vonis Sekda Singkawang CS, Tak Ada Aliran Dana, Aktor Kebijakan Lolos
PONTIANAK, insidepontianak.com – Putusan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Pontianak yang menjatuhkan vonis penjara terhadap tiga pejabat Pemerintah Kota Singkawang menuai kritik dan koreksi.
Tiga pejabat tersebut adalah Sekretaris Daerah (Sekda) Sumastro yang divonis 4 tahun 7 bulan penjara, serta Kepala BPKAD Widatoto dan Kepala Bapenda Parlinggoman, masing-masing dijatuhi hukuman 4 tahun 3 bulan.
Ketiganya dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi retribusi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pasir Panjang. Namun, dalam putusan itu terungkap fakta, mereka tidak menerima aliran dana rasuah.
Kasus ini bermula dari kebijakan Wali Kota Singkawang, Tjhai Chui Mie, yang memberikan keringanan retribusi sebesar 60 persen kepada PT Palapa Wahyu Group (PWG), sebagai pengelola Taman Wisata Pasir Panjang Indah.
Akibat kebijakan tersebut, kewajiban retribusi perusahaan turun drastis dari sekitar Rp5,2 miliar menjadi hanya Rp2 miliar, dan dianggap merugikan negara.
Perkara ini kemudian menyeret Sekda, Kepala BPKAD, dan Kepala Bapenda ke meja hijau. Sementara itu, wali kota sebagai pengambil kebijakan hanya diperiksa sebagai saksi.
Sarat Kejanggalan
Pengamat hukum Universitas Panca Bhakti Pontianak, Herman Hofi Munawar, menilai vonis terhadap Sekda, Kepala BPKAD dan Kepala Bapenda janggal. Sehingga putusan hakim dinilai patut dieksaminasi.
“Putusan ini tidak masuk akal dan melukai rasa keadilan. Dari awal kasusnya keliru, dan putusan hakim justru memperparah kekeliruan itu,” ujar Herman.
Ia menegaskan, ketiga pejabat yang telah divonis bukan aktor utama dalam perkara. Peran mereka sebatas menjalankan fungsi administratif dalam menyusun telaah sebagai staf berdasarkan perintah atasan.
“Keputusan final ada di tangan wali kota. Dalam fakta persidangan juga jelas, wali kota berperan sebagai aktor utama dalam pemberian keringanan retribusi HPL,” tegasnya.
Herman juga menyoroti tidak adanya bukti aliran dana yang dinikmati para terdakwa. Fakta persidangan, juga tidak menunjukkan adanya keuntungan pribadi yang diterima ketiganya.
“Ini murni keputusan administratif. Tapi yang dihukum justru pelaksana, sementara pengambil kebijakan bebas,” katanya.
Ia mengingatkan, putusan ini berpotensi menimbulkan dampak serius bagi birokrasi daerah. Aparatur sipil negara bisa takut bekerja karena khawatir dikriminalisasi saat menjalankan perintah atasan.
“Ini berbahaya. Birokrasi bisa lumpuh. Pejabat hanya datang, absen, lalu pulang. Tidak berani mengambil keputusan atau berinovasi,” ujarnya.
Meski begitu, Herman mengapresiasi langkah hakim yang memerintahkan pengembalian sejumlah berkas ke kejaksaan untuk diselidiki lebih lanjut terhadap pihak lain yang belum diproses hukum.
“Itu sinyal kuat bahwa ada pihak yang lebih berperan dibanding tiga terdakwa ini. Dan jika bicara tanggung jawab utama, tentu wali kota sebagai primus inter pares dalam pengambilan keputusan,” tegasnya.
Ia pun mendesak Kejaksaan Negeri Singkawang menindaklanjuti perintah tersebut.
“Jika kejaksaan tidak memproses pihak yang paling bertanggung jawab, maka rasa keadilan benar-benar dicederai,” katanya.
Sejak Awal Bermasalah
Di sisi lain, Herman menilai, sejak awal pemberian izin pengelolaan kawasan Pasir Panjang kepada PT Palapa Wahyu Group sudah janggal.
Sebab, prosesnya tidak transparans. Sebab, tidak ada lelang terbuka. Padahal proses ini telah disarankan Pemrov Kalbar.
Alih-alih saran itu dipakai, wali kota justru melakukan penunjukan langsung. Bagi Herman, kebijakan ini justru memberi kesan adanya perlakuan istimewa terhadap perusahaan tersebut. Padahal, perusahaan itu diketahui memiliki catatan buruk, termasuk tunggakan pajak.
“Tidak ada dasar faktual yang kuat bahwa perusahaan ini layak mendapat hak istimewa. Di sini terlihat jelas ada subjektivitas,” tegas Herman.
Tak Ada Lelang
Penunjukan PT PWG juga menjadi sorotan jaksa dan majelis hakim saat Tjhai Chui Mie dihadirkan sebagai saksi di persidangan.
Pertanyaan muncul karena kondisi keuangan PT PWG dinilai tidak sehat dan kerap menunggak kewajiban.
Jaksa mempertanyakan mengapa pemerintah tidak memilih perusahaan lain yang lebih Bonafide?
Tjhai Chui Mie beralasan tidak mengetahui kondisi keuangan perusahaan. “Mana bisa tahu, Pak. Kita tidak tahu keuangan orang,” ujarnya.
Jaksa menegaskan, pemerintah seharusnya melakukan kajian mendalam sebelum mengambil keputusan strategis, termasuk memverifikasi laporan keuangan perusahaan.
Namun, Tjhai mengaku tidak melakukan hal tersebut. Ia berdalih hanya meneruskan kebijakan lama.
“Kami meneruskan perjanjian sejak 2010. Ada klausul bahwa tanah yang dihibahkan ke pemerintah tetap dikelola PT PWG,” jelasnya.
Ia menyebut keputusan itu dibuat agar lahan tetap berkembang dan memberi manfaat bagi Kota Singkawang.
Pertimbangkan Pandemi
Dalam persidangan, Tjhai Chui Mie menyatakan keringanan retribusi diberikan karena kondisi ekonomi Singkawang yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
“Pertumbuhan ekonomi Singkawang tahun 2020 terkontraksi minus 2,51 persen. Sektor pariwisata paling terdampak,” ungkapnya.
Menurutnya, pendapatan PT PWG turun hingga 80 persen akibat pembatasan perjalanan dan turunnya jumlah wisatawan. Perusahaan kemudian mengajukan keberatan atas besaran retribusi.
Tjhai menyebut kebijakan keringanan telah melalui kajian tim teknis dan OPD terkait, serta merujuk pada instruksi Kementerian Dalam Negeri yang membuka ruang pengurangan pajak dan retribusi selama pandemi.
Keputusan itu, kata dia, juga mempertimbangkan potensi pemutusan hubungan kerja dan dampaknya terhadap stabilitas sosial.
“Saya menyetujui berdasarkan telaahan staf, arahan sekda, dan kajian teknis. Tidak ada niat lain. Semua demi kepentingan masyarakat Singkawang,” tegasnya.
Catatan Gelap PT PWG
Namun, jaksa membantah klaim bahwa keringanan retribusi berdampak positif terhadap pendapatan daerah.
Di persidangan, jaksa membeberkan fakta bahwa setelah retribusi dipotong 60 persen menjadi sekitar Rp2 miliar, PT PWG hanya membayar Rp471 juta. Masih ada tunggakan sekitar Rp1,6 miliar.
“Ibu tahu tidak, masih ada tunggakan sebesar Rp1,6 miliar?” tanya jaksa.
Ketika ditanya mengapa pemerintah tetap memberi keringanan besar kepada perusahaan yang tak mampu membayar, Tjhai kembali menjawab tidak mengetahui kondisi keuangan perusahaan.
“Kami tidak tahu kondisi keuangan orang,” ujarnya.
Jaksa pun menimpali, pemerintah seharusnya meminta laporan keuangan dan memverifikasi kelayakan perusahaan.
“Ini kerja sama bisnis, bukan kegiatan sosial,” tegas jaksa.***
Penulis : Andi Ridwansyah
Editor : Abdul Halikurrahman
Tags :

Leave a comment